BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah penyakit kanker tetap menghantui umat
manusia, di mana diberitakan bahwa kanker ini merenggut 30% dari sekitar 7 juta
kematian tiap tahun di seluruh dunia. Hal ini terutama disebabkan karena gejala
awal masih sulit diketahui dan sampai sekarang dunia kedokteran masih belum
menemukan obat yang mujarab untuk mengobatinya.
Sir Richard Dool salah seorang ahli kanker terkemuka
Inggris menyatakan baru-baru ini bahwa penyakit kanker yang mematikan masih
dapat dikurangi dengan sekitar 60% jika orang memakan makanan yang lebih sehat
dan berhenti merokok. Peranan serat makanan yang antara lain berfungsi untuk
mencegah timbulnya penyakit kanker saluran pencernaan. Hal ini diperkuat oleh
ahli kanker tersebut yang menyatakan bawa makanan yang baik yang diperkaya
dengan sayuran dan bahan pangan berkadar serat tinggi dapat mengurangi
timbulnya penyakit kanker empedu, kandungan dan usus besar.
Jagung dan kacang tanah selalu selalu dikonsumsi oleh banyak orang.
Selain itu, jagung dan kacang tanah juga diekspor keluar negeri. Kualitas dari
jagung dan kacang tanah ini, harus perlu diperhatikan. Kualitas jagung dan
kacang tanah ini dapat menurun dikarenakan adanya parasit yang tumbuh seperti
jamur. Komoditi ekspor ini sangat mudah terserang oleh jamur atau kapang
misalnya Aspergillus flavus. Selain merusak dan mengganggu, Aspergullius
flavus dapat menghasilkan metabolit berupa micotoxin. Toxin ini dikenal
dengan Aflatoxin. Selain pada hasil komoditi pertanian, aflatoxin juga dijumpai
pada sector perikanan melalui pakan yang diberikan. Walau demikian bahaya
micotoxin ini belum diketahui efeknya secara luas bagi hasil perikanan.
Menurut Dr. Ir Deddy Muchtadi Sinar harapan, Pada tahun 1960 di Inggris
terjadi kasus 100.000 ayam kalkun mengalami kematian yang tidak diketahui
penyebabnya, sehingga penyakit tersebut dinamakan “Turkey X disease” dan
beberapa waktu kemudian kejadian tersebut terjadi kembali di Uganda dan Kenya.
Para peneliti Inggris dari Tropical Product Institute menemukan bahwa
penyebab Turkey X disease berasal dari pakan ternak yang diberikan.
Dengan penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh
suatu zat hasil metabolit kapang (jamur) Aspergillus flavus yang tumbuh
di kacang tanah. Aflatoxin kemudian diresmikan menjadi nama racun atu micotoxin
yang diambil dari singkatan nama genus (Aspergillus) dan spesies
(flavus).
Pada tahun 1729, Michelli dapat menjelaskan genus dari Aspergillus.
Species Aspergillus kurang lebih berjumlah 180 species. Kapang Aspergillus
ini dapat tumbuh dengan baik dengan kadar air minimal 80%. Aspergillus
dapat menyebabkan penyakit yang disebut Aspergilosis. Hewan terserang kapang
ini, dapat menyebabkan mucotic pneumonia, rhinitis kronis, penyakit sistemik
yang disebabkan oleh jamur atau kapang, penyakit kulit, alergi, aspergilosis
pada saluran pencernaan, mastitis dan keratomycosis. Ada dua species dari genus
Aspergillus yang menghasilkan senyawa berbahaya Aflatoxin yaitu Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus. Aspergillus flavus
dapat ditemukan di belahan dunia yang beriklim panas dan lembab diantaranya
afrika sub-sahara dan asia tenggara. genus Aspergillus dapat menyerang
biji kacang tanah yang rusak atau kulitnya terkelupas.
B.
Tujuan
Mengetahui
jamur yang menghasilkan Aflatoksin dan dapat mengetahui bahaya dari Aflatoksin
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Morfologi
Jamur Penghasil senyawa Aflatoksin
Aspergillus parasiticus
Klasifikasi
Super kingdom : Eukaryota
Kingdom : Fungi
Sub kingdom : Dikarya
Phylum :
Ascomycota
Subphylum : Pezizomycotina
Classis :
Eurotiomycetes
Sub classis :
Eurotiomycetidae
Ordo : Eurotiales
Familia : Trichocomaceae
Genus :
Aspergillus
Spesies : Aspergillus flavus
Aspergillus parasiticus
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang sudah sangat dikenal karena peranannya
sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya untuk menghasilkan
aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi. Kedua spesies tersebut merupakan
produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus yang mengkontaminasi
produk agrikultur. Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus mampu mengakumulasi
aflatoksin pada berbagai produk pangan meskipun tipe toksin yang dihasilkan
berbeda.
B.
Aflatoksin
1.
Sejarah
Aflatoksin
ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus ribu ekor kalkun
di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal
dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu.
Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam
tepung kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum
ternak mengungkapkan keberadaan sejenis kapang. Toksin tersebut
berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum
ternak tersebut.
Nama toksin
tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang
disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus merupakan spesies dominan yang bertanggung jawab atas
kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen maupun selama penyimpanan.
2.
Sifat dan Karakteristik
Jenis aflatoksin dan spesies
penghasilnya dijelaskan pada Tabel 1. Terdapat 18 jenis racun
aflatoksin, empat yang paling kuat daya racunnya adalah aflatoksin B1, G1, B2,
dan G2. Tahun 1988, International Agency for Research on Cancer menyatakan
bahwa aflatoksin B1 bersifat karsinogen (menyebabkan kanker) pada manusia.
Batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk
olahan jagung dan kacang tanah adalah masing-masing 20 dan 35 ppb (Keputusan
Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.1.1405, tahun 2004).
Spesies
|
Jenis
aflatoksin
|
Ditemukan
pada
|
Aspergillus
flavus
Aspergillus
nomius
|
B1, B2.
|
Kacang
tanah, jagung, dan olahannya serta pakan
|
Aspergillus
parasiticus
|
B1, B2,
G1, G2
M1, M2
(metabolit aflatoksin)
|
Susu
|
Tabel 1. Jenis kapang dan jenis
aflatoksin yang dihasilkan
Aflatoksin B1 dan B2
dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus.
Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya
dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1
dan G1 masuk ke dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka
senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi
aflatoksin M1 dan M2, yang dapat diekskresikan dalam susu
dan urin.
\
Aflatoksin
|
Rumus
molekul
|
Berat
Molekul
|
Titik
leleh (0C)
|
B1
|
C17H12O6
|
312
|
268-269
|
B2
|
C17H14O6
|
314
|
286-289
|
G1
|
C17H12O7
|
328
|
244-246
|
G2
|
C17H14O7
|
330
|
237-240
|
M1
|
C17H12O7
|
328
|
299
|
M2
|
C17H14O7
|
330
|
293
|
B2A
|
C17H14O7
|
330
|
240
|
G2A
|
C17H14O8
|
346
|
190
|
Tabel 2. Karakteristik
Aflatoksin
Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah
sinar UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari
ultraviolet. Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan
penampakan fluorosensi hijau diberi akhiran G (green). Berdasarkan
mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan aflatoksin diberi indeks
angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing dengan struktur
molekul yang berbeda namun mirip.
Sifat senyawa aflatoksin stabil, sulit terurai, tidak larut dalam air,
tidak rusak pada suhu panas. Kondisi optimum untuk pertumbuhan kapang dan
memproduksi aflatoksin yaitu: nilai water activity (Aw) > 0,7 ; kelembaban
(RH) > 70% dan kisaran suhu 11-41°C dengan suhu untuk pembentukan aflatoksin
maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan kapangnya yaitu
24-30°C. Suhu pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain
seperti konsentrasi oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain.
Selain itu kapang akan berkembang biak pada kondisi lingkungan yang tidak
higienis, misalnya banyak tikus, serangga gudang, burung dan
lain-lain, dapat pula terserang komoditas lain yang sudah terserang penyakit
tanaman atau Aspergillus. Tumbuhan yang terserang penyakit biasanya juga
mengandung aflatoksin. Jadi perkembangbiakan Aspergillus sudah terjadi
saat pertumbuhan komoditi di lahan petani, sampai penyimpanan di gudang.
Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai
faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan
lingkungan seperti iklim dan faktor geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi
meliputi temperatur, kelembaban, cahaya, aerasi, pH, sumber karbon
dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis,
potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan.
Beberapa faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan
produksi aflatoksin (aflR) maupun gen struktural kemungkinan dengan mengubah
ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang merespons sinyal dari lingkungan
dan nutrisi.
Aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap pertama ialah
pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa pembentukan decaketide
anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi yang sangat terorganisir
kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema produksi aflatoksin yang umum diterima
saat ini ialah sebagai berikut.
Hexanoyl CoA
precursor —> norsolorinic acid, NOR —> averantin, AVN —>
hydroxyaverantin, HAVN —> averufin, AVF —> hydroxyversicolorone, HVN—>
versiconal hemiacetal acetate, VHA —> versi-conal, VAL —> versicolorin B,
VERB —> versicolorin A, VERA —> demethyl-sterigmatocystin, DMST —>
sterigmatocystin, ST —> Omethylsterigmatocystin, OMST—> aflatoxin
B1, AFB1 dan aflatoxin G1, AFG1.2
3. Keberadaan
aflatoksin pada pangan dan ternak
Aflatoksin dapat dijumpai pada
berbagai bahan pangan, misalnya jenis serealia (jagung, sorgum, beras, gandum),
rempah-rempah (lada, jahe, kunyit), kacang-kacangan (almond, kacang tanah),
susu (jika ternak mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin), termasuk
produk pangan yang terbuat dari bahan-bahan tersebut, seperti roti dan selai
kacang. Salah satu komoditi yang sangat rentan adalah kacang tanah dan produk
olahannya, seperti kacang goreng, sambal pecel, minyak goreng, oncom, bungkil
kacang tanah, dan selai kacang tanah.
Namun, komoditi yang mempunyai
tingkat risiko tertinggi terkontaminasi aflatoksin adalah kacang tanah beserta
produk olahannya, seperti kacang goreng, sambal pecel, minyak goreng, oncom,
bungkil kacang tanah, dan selai kacang tanah, selain itu jagung, dan biji kapas
(cotton seed).
Aflatoksin seringkali ditemukan pada
tanaman sebelum dipanen. Setelah pemanenan, kontaminasi dapat terjadi jika
hasil panen terlambat dikeringkan dan disimpan dalam kondisi lembab. Serangga
dan tikus juga dapat memfasilitasi masuknya kapang pada komoditi yang disimpan.
Aflatoksin sering kali terdifusi
masuk ke dalam tenunan bagian-bagian dalam komoditi pertanian melalui
rambut-rambut kapangnya. Dengan demikian, biji, umbi, bungkil, dan bagian lain
komoditi yang tercemari tidak serta merta tampak oleh mata. Keberadaan aflatoksin
dipengaruhi cuaca seperti suhu dan kelembapan, sehingga tingkat kontaminasinya
bervariasi tergantung lokasi geografis, cara bertani, budi daya, dan kerentanan
komoditi.
Racun aflatoksin seperti
ochratoksin, Sterigmatosistis, dan asam panisilat diproduksi lebih aktif pada
bahan yang mengandung karbohidrat tinggi (jagung, gandum, dan beras), kemudian
diikuti oleh bahan yang kaya lipid dan peptide (protein).
C.
Efek
Aflatoksin
1. Efek
Aflatoksin Terhadap Kesehatan Manusia
Aflatoksin dapat bersifat toksigenik,
mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan immunosuppresif pada hewan percobaan.
Aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar daripada mikotoksin lain karena
memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas
akut terhadap manusia. Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat
menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan karsinoma hati serta berpotensi
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada hewan yang resisten terhadap
efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika diasumsikan
bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang sama. Pada kebanyakan
spesies hewan, LD50 aflatoksin berkisar antara 0,5 hingga 10 mg/kg
berat badan.
Pada tahun 1988, IARC menggolongkan
aflatoksin B1 pada daftar karsinogen terhadap manusia. Hal ini
didukung dengan sejumlah hasil penelitian epidemiologi di Asia dan Afrika yang
menunjukkan hubungan positif antara diet aflatoksin dan kanker sel hati (Liver
Cell Cancer = LCC). Sebagai tambahan, timbulnya penyakit yang berhubungan
dengan aflatoksin pada manusia kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti usia, status nutrisi, dan/atau paparan bahan lain, seperti virus
hepatitis (HBV) atau infestasi parasit.
Aflatoksin mampu menyebabkan
penyakit dalam jangka panjang (kronis) dan penyakit jangka pendek (akut)
bergantung pada dosis dan frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek yang
paling sering terjadi ialah kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis
antibodi sesuai dengan dosis paparan.
Toksisitas akut terjadi tak lama
setelah mengonsumsi bahan makanan yang terkontaminasi racun dengan dosis
relatif besar dan yang terserang adalah hati, pankreas, serta ginjal. Pada efek
kronis, aflatoksin menyebabkan timbulnya kanker hati (hepatic carcinoma).
Secara umum konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat
pada Tabel 3.
Konsentrasi
Aflatoksin (ppb)
|
Efek yang
Ditimbulkan
|
20
|
Level maksimal yang
diijinkan untuk manusia
|
50
|
Level
maksimal yang diijinkan untuk hewan
|
100
|
Pertumbuhan
lambat pada usia muda
|
200 – 400
|
Pertumbuhan lambat pada usia tua
|
>400
|
Kerusakan hati dan kanker
|
Tabel 3. Konsentrasi Aflatoksin dan Akibat yang Ditimbulkan
Aflatoksin yang dikonsumsi secara
terus-menerus, walaupun dalam jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati,
organ tubuh yang sangat penting dan juga berperan dalam detoksifikasi
aflatoksin itu sendiri. Data dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan
ada 20% kasus kanker hati tidak menunjukkan kaitan dengan infeksi hepatitis B
maupun hepatitis C. Diduga Aflatoksin B1 memegang peran sebagai faktor pemicu
mutasi P53 gen sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel hati, timbul
dugaan bahwa kasus kanker hati itu berhubungan dengan senyawa karsinogen
termasuk Aflatoksin B1 (RASYID, 2006).5 Sampai saat ini obat yang
diketahui dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah amphotericin B
(AmB) dan itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole, posaconazole, dan
caspofungin juga telah diterima untuk pengobatan kontaminasi Aspergillus.
2. Aflatoksikosis
Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau pakan yang
tercemar aflatoksin disebut aflatoksikosis. Beberapa negara, terutama negara
dunia ketiga, seperti Taiwan, Uganda, dan India telah melaporkan adanya bukti
terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia. Di negara-negara maju, kontaminasi
aflatoksin pada pangan jarang terjadi pada tingkat yang dapat menimbulkan
aflatoksikosis akut terhadap manusia. Penelitian
toksisitas paparan oral aflatoksin terhadap manusia difokuskan pada potensi
karsinogeniknya. Kerentanan relatif manusia terhadap aflatoksin masih belum
diketahui, meskipun pada studi epidemiologi di Afrika dan Asia Tenggara, tempat
dimana banyak terjadi insiden hepatoma, telah ditemukan kaitan antara insiden
kanker dengan kandungan aflatoksin dalam diet. Hasil penelitian tersebut tidak
membuktikan adanya hubungan sebab akibat, tetapi dapat menjadi bukti adanya
kaitan.
Masalah yang timbul jika mengonsumsi makanan yang
mengandung aflatoksin:
a)
Keracunan akut (aflatoksikosis), dengan gejala mual,
muntah, kerusakan hati hingga kematian pada kasus serius
b)
Perkembangan anak dan pertumbuhan janin terganggu.
c)
Metabolisme protein terganggu.
d)
Kekebalan tubuh menurun.
e)
Kanker hati
Pada manusia, kasus aflatoksikosis sesungguhnya jarang
dilaporkan, tetapi kebanyakan kasus tidak selalu dikenali sebagai
aflatoksikosis. Kita patut curiga bahwa telah terjadi aflatoksikosis jika
ditemukan suatu penyakit yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
a)
Penyebab penyakit tidak dapat segera teridentifikasi.
b)
Penyakitnya tidak menular.
c)
Penyebab penyakit diduga diakibatkan oleh jenis pangan
tertentu.
d)
Pemberian antibiotik atau obat lainnya hanya
memberikan sedikit pengaruh.
e)
Kejadiannya bersifat musiman (kondisi cuaca dapat
mempengaruhi pertumbuhan kapang).
Efek berat aflatoksikosis pada hewan (yang
diperkirakan bisa juga terjadi pada manusia) dikategorikan ke dalam dua bentuk
utama, yaitu aflatoksikosis akut (jangka pendek) dan aflatoksikosis kronik
(jangka panjang).
a)
Aflatoksikosis akut dapat diakibatkan oleh konsumsi
aflatoksin dalam tingkat sedang hingga tinggi. Beberapa gejala umum
aflatoksikosis adalah edema anggota tubuh bagian bawah, nyeri perut, dan
muntah. Secara spesifik, paparan akut aflatoksin dapat menyebabkan perdarahan,
kerusakan hati secara akut, edema, perubahan pada pencernaan, dan kemungkinan
kematian. Tertelannya aflatoksin dalam jumlah besar umumnya terjadi di
peternakan. Organ target aflatoksin adalah hati. Setelah aflatoksin masuk ke
hati, lipid menyusup ke dalam hepatosit dan menyebabkan nekrosis atau kematian
sel hati. Hal ini terutama disebabkan oleh metabolit aflatoksin yang bereaksi
secara negatif dengan protein sel lain, yang menyebabkan penghambatan
metabolisme karbohidrat dan lemak serta sintesis protein. Akibat penurunan
fungsi hati, terjadi gangguan mekanisme pembekuan darah, ikterus (jaundice),
dan penurunan protein serum esensial yang disintesis oleh hati.
b)
Aflatoksikosis kronik disebabkan oleh konsumsi
aflatoksin dalam tingkat rendah hingga sedang. Efek yang ditimbulkan biasanya
bersifat subklinis dan sulit dikenali. Gejala aflatoksikosis kronik dapat
berupa penurunan laju pertumbuhan, penurunan produksi susu atau telur, dan
imunosupresi. Beberapa pengamatan menunjukkan adanya karsinogenisitas, terutama
terkait dengan aflatoksin B1. Tampak jelas terjadinya kerusakan hati
karena timbulnya warna kuning yang menjadi karakteristik jaundice, serta
timbul pembengkakan kandung empedu. Imunosupresi disebabkan oleh reaktivitas
aflatoksin dengan sel T, penurunan aktivitas vitamin K, dan penurunan aktivitas
fagositosis makrofag. Pada hewan, efek imunosupresi akibat aflatoksin ini
memberi kecenderungan terkena infeksi sekunder dari jamur lain, bakteri, maupun
virus.
3. Efek Aflatoksin bagi ternak.
Hasil-hasil penelitian (MANI et al.,
2001; MUTHIAH et al., 1998) melaporkan bahaya aflatoksin dan dampaknya terhadap
hewan yaitu dapat menghambat peningkatan bobot badan ternak unggas dan
ruminansia, mengurangi produksi telur, menurunkan respon imun (daya kekebalan
tubuh ternak), jumlah kematian ternak tinggi, mempengaruhi absorpsi unsur
mineral Ca, Cu, Fe dan P, kerusakan organ hati serta menyebabkan residu pada
produk ternak, yang akan berbahaya bagi manusia.
D.
Upaya
Pencegahan Aflatoksin
Produksi
pangan yang benar-benar bebas mikotoksin merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan. Namun, metode penyimpanan dan penanganan komoditi yang baik dapat
meminimalkan pertumbuhan kapang sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran
mikotoksin pada produk pangan. Penyimpanan komoditi pangan tersebut sebaiknya
di tempat yang kering (kelembaban rendah) dan sejuk (lebih baik jika disimpan
di freezer)
Untuk
mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam tubuh melalui pangan, sangat bijaksana
jika konsumen bersikap selektif terhadap pangan yang akan dikonsumsinya, antara
lain dengan menghindari mengkonsumsi pangan yang telah berjamur, telah berubah
warna, telah berubah rasa atau tengik.
Upaya
menghindari pertumbuhan mikrobia pada bahan pakan bisa dilakukan dengan jalan
menjaga kelembaban yang rendah, kurang dari 80% sehingga pertumbuhan fungi akan
terhambat. Hindari suhu optimum untuk pertumbuhan fungi A. Flavus maupun
A. parasiticus, yaitu 25 – 40 oC. Penyimpanan dalam keadaan
kering, kira-kira kadar air 10-12% terhadap bahan pakan sangat
dianjurkan.
Pemilihan
bahan pakan yang baik dan utuh, terhindar dari kelukaan atau kerusakan oleh
serangan hama harus ditegakkan, karena serangan serangga merupakan predisposisi
bagi pertumbuhan fungi pada bahan pakan tersebut. Pada jagung yang terserang
serangga menunjukkan kandungan aflatoksin hampir 90%. Hindari pH 5,5 – 7,0 yang
optimum untuk pertumbuhan A. Flavus.
Seluruh
pihak yang berkepentingan (stakeholder) perlu mengetahui tingkat cemaran
aflatoksin melalui pengujian aflatoksin pada komoditi bahan pangan dan pakan
yang menjadi komoditas perdagangan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
mencegah kontaminasi aflatoksin, tetapi hal ini masih tetap menjadi masalah.
Berbagai negara telah mencoba membatasi paparan aflatoksin dengan mengeluarkan
peraturan batasan kadar aflatoksin pada komoditi yang akan digunakan sebagai
makanan dan pakan. Food and Drug Administration di Amerika Serikat, misalnya,
memberi batasan kadar aflatoksin maksimum 20 ppm pada makanan dan pakan,
termasuk produk-produk kacang tanah.
E.
Upaya Mendiagnosis Aflatoksin
1. Teknologi
deteksi aflatoksin
Teknologi deteksi aflatoksin secara
kuantitatif, teknik kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan cara
pendeteksian yang umum digunakan dan merupakan metode konfirmasi. Sedangkan
metode semi kuantitaf aflatoksin adalah kromatografi lapis tipis (KLT) dan Enzyme
Linked Immunoassay (ELISA), telah pula dikembangkan di laboratorium
Bbalitvet. Saat ini laboratorium Toksikologi Bbalitvet telah dapat menentukan
cemaran aflatoksin untuk kepentingan penelitian maupun pengujian diagnostik
dengan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) atau HPLC (High Pressure
Liquid Chromatography) dengan detektor fluoresen, dimana metoda deteksi ini
memerlukan tahapan derivatisasi untuk mengubah aflatoksin menjadi senyawa
berfluoresensi kuat, serta teknik ELISA (RACHMAWATI, 2005). Analisis aflatoksin
pada pakan dan bahan pakan dengan kedua metoda tersebut (HPLC dan ELISA) telah
masuk ruang lingkup terakreditasi berdasar ISO guide 17025.
Telah pula dikembangkan teknik
deteksi menggunakan LCMS dapat memotong tahapan derivatisasi dan memberikan
hasil konfirmasi yang lebih akurat dan diharapkan lebih sensitif. Untuk
teknologi deteksi secara ELISA telah dapat dirakit berupa kit yang dapat di
suplai ke para pengguna, sehingga laboratorium lain dalam ruang lingkup
kegiatan yang hampir sama dapat melakukan analisis aflatoksin pada
laboratoriumnya.
Analisis menggunakan kit ELISA lebih
disukai, karena dapat menganalisis sampel dalam jumlah banyak dalam satu waktu
analisis dan ekstraksi sampel lebih sederhana, sehingga waktu analisis lebih
cepat. Meskipun kit serupa produksi luar negeri tersedia di Indonesia (kit
impor), namun kit hasil pengembangan Bbalitvet dapat diperoleh di dalam negeri
dengan harga relatif murah (3 kali lebih murah) (RACHMAWATI, 2005). Metode
analisis aflatoksin secara ELISA dapat dikembangkan lebih lanjut untuk
keperluan lapang, seperti ELISA dipstick atau ELISA test strip. Namun demikian
baik metode ELISA maupun kromatografi untuk analisis aflatoksin, dapat lebih
luas dikembangkan untuk aplikasi dalam matrik bahan pertanian lain ataupun
makanan (RACHMAWATI, 2006).5
2. Teknik Dekontaminasi
Upaya menekan kandungan aflatoksin dapat dilakukan dengan menggunakan
cendawan Neurospoa sp. dan Rhizopus sp. Selanjutnya untuk
menghindari serangan cendawan A. Flavus pada jagung dapat dilakukan
dengan sesegera mungkin menjemur tongkol jagung yang sudah dipanen sampai kadar
air 17%, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 11% kemudian
disimpan. Pada kondisi kadar air rendah pada biji jagung, maka tidak terserang
cendawan A. Flavus. Upaya lain adalah penggunaan bahan kimia yaitu
ammonia dan asam propionate dapat negurangi jumlah spora yang menempel pada
jambul jagung, sehingga mengurangi sumber inokolum untuk infeksi di
penyimpanan.
Upaya untuk mengatasi mikotoksin adalah dengan ekstraksi menggunakan
pelarut organik, antara lain dengan kalsium klorida atau sodium bikarbonat atau
dengan pemanasan dalam air garam. Penggunaan amonia atau monometylamine dan
kalsium hidroksida juga efektif dalam mengatasi toksin tersebut. NaOCl bisa
digunakan untuk dekontaminasi pada kacang tanah, formaldehid dan NaOH pada
tepung kacang. Perendaman atau pencelupan kacang tanah dalam p-amino benzoat,
kalium sulfit, kalium fluorida, ammonia 2%, asam propionat, Na-asetat, dan H2O2.
Detoksifikasi dengan ammonia terhadap aflatoksin adalah sangat praktis dan
mudah, sehingga banyak dipraktekkan.
Toksin dapat juga dihancurkan dengan pemanasan, misal penggarangan kacang
tanah pada suhu 150oC selama 30 menit akan mengurangi aflatoksin B1
sebanyak 80% dan aflatoksin B2 sebanyak 60%. Penggorengan dengan
minyak pada kacang tanah pada suhu 204oC akan mengurangi kadar
aflatoksin B1 dan G1 rata-rata 40 -50%, sedangkan
aflatoksin B2 dan G2 akan menurun sebanyak 20 – 40%.
Aflatoksin dianggap stabil terhadap pemanasan, karena pada pemanasan normal
(100oC) tidak menyebabkan perubahan. Demikian pula trikhotesen,
zeralenon, khloratoksin dan patulin. Sedangkan sitrinin mudah dirusak oleh
pemanasan. Pemanasan bertekanan (autoklaf) dapat juga mengurangi kadar
aflatoksin. Pada autoklaf suhu 120oC bertekanan 15 lbs selama 4 hari
pada tepung kacang dengan kelembaban 60% akan menurunkan kadar aflatoksin dari
7.000 mg/kg menjadi 340 mg/kg.
Penyinaran dengan sinar ultra violet selama 45 detik bisa menghancurkan spora
A. Flavus. Akan tetapi penyinaran ini juga menyebabkan berkurangnya
zat-zat gizi dalam bahan pakan.
Bahan-bahan kimia tertentu, seperti diklorvos akan menghambat pembentukan
aflatoksin pada gandum, jagung, beras dan kacang tanah.
Pencegahan aflatoksin dapat dilakukan dengan
penggunaan feed aditiv yang dicampurkan dalam bahan pakan , sehingga secara in
vivo feed aditiv ini akan aktif melawan mikotoksin. Beberapa mineral dapat
memiliki kemampuan mengabsorbsi atau menangkap molekul mikotoksin sehingga
tidak berbahaya bagi ternak. Beberapa zat yang dapat bertindak sebagai feed
aditiv antara lain activated charcoal, yeast produk dinding sel.
Beberapa produk sintetik dapat digunakan, antara lain zeolit,
aluminosilikat dan Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Zeolit aktif melawan
aflatoksin T2.. Penambahan zeolit 2% sebanyak
1mg/kg bahan pakan terkontaminasi aflatoksin B1 akan menurunkan kadar aflatoksin dalam hati
sampai 30-40%.5
F.
Langkah Penanganan
Berikut merupakan beberapa langkah penanganan Aflatoksin, yakni :
a)
Melakukan peningkatan manajemen bercocok tanam,
penggunaan varietas tanaman tahan serangan kapang toksigenik pada proses pra
panen, serta pemilihan terhadap bahan pangan yang berkualitas baik dan tidak
berkapang.
b)
Mendidik petani, pedagang pengumpul, grosir, pengecer,
industri pangan dan pakan mengenai cara penanganan pasca panen kacang tanah dan
jagung yang baik, melalui media berupa brosur, artikel pada majalah ilmiah
populer, dan lain-lain.
c)
Melakukan monitoring terhadap kadar aflatoksin pada
pangan dan pakan secara kuantitatif dan semi kualitatif pada berbagai tahapan.
d)
Melakukan survei yang lebih luas dan terpadu terhadap
kontaminasi aflatoksin pada berbagai bahan pangan dan pakan di berbagai daerah
(kabupaten, provinsi) di Indonesia.
e)
Menangani masalah aflatoksin dengan koordinasi
berbagai pihak meliputi pemerintah, produsen, konsumen, praktisi, akademisi dan
peneliti.
f)
Mendistribusikan informasi yang diperoleh dari laporan
ini kepada penyuluh pertanian, importir, grosir, dan pengecer kacang tanah,
serta industri pangan dan pakan yang berbahan baku kacang tanah dan jagung.
g) Mendidik
konsumen untuk dapat mengenali dan tidak mengonsumsi kacang tanah yang tercemar
aflatoksin dengan ciri biji berwarna coklat kehijauan hingga kehitaman, dan
berasa pahit.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aspergillus sp. merupakan
kapang yang tersebar luas di alam. Kapang ini menghasilkan racun aflatoksin
yang dapat mencemari bahan pangan maupun pakan ternak. Bahan pangan terutama
kacang tanah, jagung, dan biji kapas. Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat
yang paling kuat daya racunnya adalah aflatoksin B1, G1, B2, dan G2. Aflatoksin
B1 bersifat karsinogen pada manusia.
Kapang A. flavus tidak selalu menghasilkan racun sehingga adanya
kapang ini belum tentu memberikan pencemaran racun aflatoksin. Aflatoksin yang
mencemari pakan ternak dapat membahayakan kesehatan dan produktivitas ternak.
Sementara residunya pada hasil ternak dapat menyebabkan keracunan
(aflatoksikosis) baik akut maupun kronis pada manusia bila hasil ternak
tersebut dikonsumsi.
B. Saran
1.
Bagi berbagai negara telah mencoba membatasi paparan
aflatoksin dengan mengeluarkan peraturan batasan kadar aflatoksin pada komoditi
yang akan digunakan sebagai makanan dan pakan.
2.
Bagi seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder)
baik pemerintah, petani, produsen dan konsumen pada komoditi bahan pangan dan
pakan yang berpeluang terkena cemaran aflatoksin untuk dapat melakukan Upaya
pencegahan aflatoksin dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2007. Aflatoksin. http://www.pom.go.id/surv/events/afla2007Vol2.pdf, diakses
pada tanggal 3 Mei 2012.
Anonim. Mewaspadai
Cemaran Aflatoksin pada Pangan. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CE0QFjAB&url=http%3A%2F%2Fbalitnak.litbang.deptan.go.id
Dwooqkii.
2012.Info tentang racun aflatoksin yang terdapat pada kacang tanah. http://www.forumkami.net/cafe/207917-info-tentang-racun-aflatoksin-terdapat-kacang-tanah.html,
diakses pada tanggal 3 Mei 2012.
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Masalah penyakit kanker tetap menghantui umat
manusia, di mana diberitakan bahwa kanker ini merenggut 30% dari sekitar 7 juta
kematian tiap tahun di seluruh dunia. Hal ini terutama disebabkan karena gejala
awal masih sulit diketahui dan sampai sekarang dunia kedokteran masih belum
menemukan obat yang mujarab untuk mengobatinya.
Sir Richard Dool salah seorang ahli kanker terkemuka
Inggris menyatakan baru-baru ini bahwa penyakit kanker yang mematikan masih
dapat dikurangi dengan sekitar 60% jika orang memakan makanan yang lebih sehat
dan berhenti merokok. Peranan serat makanan yang antara lain berfungsi untuk
mencegah timbulnya penyakit kanker saluran pencernaan. Hal ini diperkuat oleh
ahli kanker tersebut yang menyatakan bawa makanan yang baik yang diperkaya
dengan sayuran dan bahan pangan berkadar serat tinggi dapat mengurangi
timbulnya penyakit kanker empedu, kandungan dan usus besar.
Jagung dan kacang tanah selalu selalu dikonsumsi oleh banyak orang.
Selain itu, jagung dan kacang tanah juga diekspor keluar negeri. Kualitas dari
jagung dan kacang tanah ini, harus perlu diperhatikan. Kualitas jagung dan
kacang tanah ini dapat menurun dikarenakan adanya parasit yang tumbuh seperti
jamur. Komoditi ekspor ini sangat mudah terserang oleh jamur atau kapang
misalnya Aspergillus flavus. Selain merusak dan mengganggu, Aspergullius
flavus dapat menghasilkan metabolit berupa micotoxin. Toxin ini dikenal
dengan Aflatoxin. Selain pada hasil komoditi pertanian, aflatoxin juga dijumpai
pada sector perikanan melalui pakan yang diberikan. Walau demikian bahaya
micotoxin ini belum diketahui efeknya secara luas bagi hasil perikanan.
Menurut Dr. Ir Deddy Muchtadi Sinar harapan, Pada tahun 1960 di Inggris
terjadi kasus 100.000 ayam kalkun mengalami kematian yang tidak diketahui
penyebabnya, sehingga penyakit tersebut dinamakan “Turkey X disease” dan
beberapa waktu kemudian kejadian tersebut terjadi kembali di Uganda dan Kenya.
Para peneliti Inggris dari Tropical Product Institute menemukan bahwa
penyebab Turkey X disease berasal dari pakan ternak yang diberikan.
Dengan penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa penyakit ini disebabkan oleh
suatu zat hasil metabolit kapang (jamur) Aspergillus flavus yang tumbuh
di kacang tanah. Aflatoxin kemudian diresmikan menjadi nama racun atu micotoxin
yang diambil dari singkatan nama genus (Aspergillus) dan spesies
(flavus).
Pada tahun 1729, Michelli dapat menjelaskan genus dari Aspergillus.
Species Aspergillus kurang lebih berjumlah 180 species. Kapang Aspergillus
ini dapat tumbuh dengan baik dengan kadar air minimal 80%. Aspergillus
dapat menyebabkan penyakit yang disebut Aspergilosis. Hewan terserang kapang
ini, dapat menyebabkan mucotic pneumonia, rhinitis kronis, penyakit sistemik
yang disebabkan oleh jamur atau kapang, penyakit kulit, alergi, aspergilosis
pada saluran pencernaan, mastitis dan keratomycosis. Ada dua species dari genus
Aspergillus yang menghasilkan senyawa berbahaya Aflatoxin yaitu Aspergillus
flavus dan Aspergillus parasiticus. Aspergillus flavus
dapat ditemukan di belahan dunia yang beriklim panas dan lembab diantaranya
afrika sub-sahara dan asia tenggara. genus Aspergillus dapat menyerang
biji kacang tanah yang rusak atau kulitnya terkelupas.
B.
Tujuan
Mengetahui
jamur yang menghasilkan Aflatoksin dan dapat mengetahui bahaya dari Aflatoksin
tersebut.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Morfologi
Jamur Penghasil senyawa Aflatoksin
Aspergillus
favus Aspergillus parasiticus
Klasifikasi
Super kingdom : Eukaryota
Kingdom : Fungi
Sub kingdom : Dikarya
Phylum :
Ascomycota
Subphylum : Pezizomycotina
Classis :
Eurotiomycetes
Sub classis :
Eurotiomycetidae
Ordo : Eurotiales
Familia : Trichocomaceae
Genus :
Aspergillus
Spesies : Aspergillus flavus
Aspergillus parasiticus
Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang sudah sangat dikenal karena peranannya
sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya untuk menghasilkan
aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi. Kedua spesies tersebut merupakan
produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus yang mengkontaminasi
produk agrikultur. Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus mampu mengakumulasi
aflatoksin pada berbagai produk pangan meskipun tipe toksin yang dihasilkan
berbeda.
B.
Aflatoksin
1.
Sejarah
Aflatoksin
ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus ribu ekor kalkun
di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal
dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu.
Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam
tepung kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum
ternak mengungkapkan keberadaan sejenis kapang. Toksin tersebut
berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum
ternak tersebut.
Nama toksin
tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang
disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus
parasiticus merupakan spesies dominan yang bertanggung jawab atas
kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen maupun selama penyimpanan.
2.
Sifat dan Karakteristik
Jenis aflatoksin dan spesies
penghasilnya dijelaskan pada Tabel 1. Terdapat 18 jenis racun
aflatoksin, empat yang paling kuat daya racunnya adalah aflatoksin B1, G1, B2,
dan G2. Tahun 1988, International Agency for Research on Cancer menyatakan
bahwa aflatoksin B1 bersifat karsinogen (menyebabkan kanker) pada manusia.
Batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk
olahan jagung dan kacang tanah adalah masing-masing 20 dan 35 ppb (Keputusan
Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.1.1405, tahun 2004).
Spesies
|
Jenis
aflatoksin
|
Ditemukan
pada
|
Aspergillus
flavus
Aspergillus
nomius
|
B1, B2.
|
Kacang
tanah, jagung, dan olahannya serta pakan
|
Aspergillus
parasiticus
|
B1, B2,
G1, G2
M1, M2
(metabolit aflatoksin)
|
Susu
|
Tabel 1. Jenis kapang dan jenis
aflatoksin yang dihasilkan
Aflatoksin B1 dan B2
dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus.
Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya
dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1
dan G1 masuk ke dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka
senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi
aflatoksin M1 dan M2, yang dapat diekskresikan dalam susu
dan urin.
\
Aflatoksin
|
Rumus
molekul
|
Berat
Molekul
|
Titik
leleh (0C)
|
B1
|
C17H12O6
|
312
|
268-269
|
B2
|
C17H14O6
|
314
|
286-289
|
G1
|
C17H12O7
|
328
|
244-246
|
G2
|
C17H14O7
|
330
|
237-240
|
M1
|
C17H12O7
|
328
|
299
|
M2
|
C17H14O7
|
330
|
293
|
B2A
|
C17H14O7
|
330
|
240
|
G2A
|
C17H14O8
|
346
|
190
|
Tabel 2. Karakteristik
Aflatoksin
Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah
sinar UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari
ultraviolet. Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan
penampakan fluorosensi hijau diberi akhiran G (green). Berdasarkan
mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan aflatoksin diberi indeks
angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing dengan struktur
molekul yang berbeda namun mirip.
Sifat senyawa aflatoksin stabil, sulit terurai, tidak larut dalam air,
tidak rusak pada suhu panas. Kondisi optimum untuk pertumbuhan kapang dan
memproduksi aflatoksin yaitu: nilai water activity (Aw) > 0,7 ; kelembaban
(RH) > 70% dan kisaran suhu 11-41°C dengan suhu untuk pembentukan aflatoksin
maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan kapangnya yaitu
24-30°C. Suhu pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain
seperti konsentrasi oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain.
Selain itu kapang akan berkembang biak pada kondisi lingkungan yang tidak
higienis, misalnya banyak tikus, serangga gudang, burung dan
lain-lain, dapat pula terserang komoditas lain yang sudah terserang penyakit
tanaman atau Aspergillus. Tumbuhan yang terserang penyakit biasanya juga
mengandung aflatoksin. Jadi perkembangbiakan Aspergillus sudah terjadi
saat pertumbuhan komoditi di lahan petani, sampai penyimpanan di gudang.
Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai
faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan
lingkungan seperti iklim dan faktor geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi
meliputi temperatur, kelembaban, cahaya, aerasi, pH, sumber karbon
dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis,
potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan.
Beberapa faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan
produksi aflatoksin (aflR) maupun gen struktural kemungkinan dengan mengubah
ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang merespons sinyal dari lingkungan
dan nutrisi.
Aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap pertama ialah
pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa pembentukan decaketide
anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi yang sangat terorganisir
kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema produksi aflatoksin yang umum diterima
saat ini ialah sebagai berikut.
Hexanoyl CoA
precursor —> norsolorinic acid, NOR —> averantin, AVN —>
hydroxyaverantin, HAVN —> averufin, AVF —> hydroxyversicolorone, HVN—>
versiconal hemiacetal acetate, VHA —> versi-conal, VAL —> versicolorin B,
VERB —> versicolorin A, VERA —> demethyl-sterigmatocystin, DMST —>
sterigmatocystin, ST —> Omethylsterigmatocystin, OMST—> aflatoxin
B1, AFB1 dan aflatoxin G1, AFG1.2
3. Keberadaan
aflatoksin pada pangan dan ternak
Aflatoksin dapat dijumpai pada
berbagai bahan pangan, misalnya jenis serealia (jagung, sorgum, beras, gandum),
rempah-rempah (lada, jahe, kunyit), kacang-kacangan (almond, kacang tanah),
susu (jika ternak mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin), termasuk
produk pangan yang terbuat dari bahan-bahan tersebut, seperti roti dan selai
kacang. Salah satu komoditi yang sangat rentan adalah kacang tanah dan produk
olahannya, seperti kacang goreng, sambal pecel, minyak goreng, oncom, bungkil
kacang tanah, dan selai kacang tanah.
Namun, komoditi yang mempunyai
tingkat risiko tertinggi terkontaminasi aflatoksin adalah kacang tanah beserta
produk olahannya, seperti kacang goreng, sambal pecel, minyak goreng, oncom,
bungkil kacang tanah, dan selai kacang tanah, selain itu jagung, dan biji kapas
(cotton seed).
Aflatoksin seringkali ditemukan pada
tanaman sebelum dipanen. Setelah pemanenan, kontaminasi dapat terjadi jika
hasil panen terlambat dikeringkan dan disimpan dalam kondisi lembab. Serangga
dan tikus juga dapat memfasilitasi masuknya kapang pada komoditi yang disimpan.
Aflatoksin sering kali terdifusi
masuk ke dalam tenunan bagian-bagian dalam komoditi pertanian melalui
rambut-rambut kapangnya. Dengan demikian, biji, umbi, bungkil, dan bagian lain
komoditi yang tercemari tidak serta merta tampak oleh mata. Keberadaan aflatoksin
dipengaruhi cuaca seperti suhu dan kelembapan, sehingga tingkat kontaminasinya
bervariasi tergantung lokasi geografis, cara bertani, budi daya, dan kerentanan
komoditi.
Racun aflatoksin seperti
ochratoksin, Sterigmatosistis, dan asam panisilat diproduksi lebih aktif pada
bahan yang mengandung karbohidrat tinggi (jagung, gandum, dan beras), kemudian
diikuti oleh bahan yang kaya lipid dan peptide (protein).
C.
Efek
Aflatoksin
1. Efek
Aflatoksin Terhadap Kesehatan Manusia
Aflatoksin dapat bersifat toksigenik,
mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan immunosuppresif pada hewan percobaan.
Aflatoksin mendapat perhatian yang lebih besar daripada mikotoksin lain karena
memiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas
akut terhadap manusia. Pada sejumlah spesies hewan, aflatoksin dapat
menyebabkan nekrosis akut, sirosis, dan karsinoma hati serta berpotensi
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh. Tidak ada hewan yang resisten terhadap
efek toksik akut aflatoksin, oleh karena itu sangat logis jika diasumsikan
bahwa manusia juga mungkin dapat mengalami efek yang sama. Pada kebanyakan
spesies hewan, LD50 aflatoksin berkisar antara 0,5 hingga 10 mg/kg
berat badan.
Pada tahun 1988, IARC menggolongkan
aflatoksin B1 pada daftar karsinogen terhadap manusia. Hal ini
didukung dengan sejumlah hasil penelitian epidemiologi di Asia dan Afrika yang
menunjukkan hubungan positif antara diet aflatoksin dan kanker sel hati (Liver
Cell Cancer = LCC). Sebagai tambahan, timbulnya penyakit yang berhubungan
dengan aflatoksin pada manusia kemungkinan dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti usia, status nutrisi, dan/atau paparan bahan lain, seperti virus
hepatitis (HBV) atau infestasi parasit.
Aflatoksin mampu menyebabkan
penyakit dalam jangka panjang (kronis) dan penyakit jangka pendek (akut)
bergantung pada dosis dan frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek yang
paling sering terjadi ialah kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis
antibodi sesuai dengan dosis paparan.
Toksisitas akut terjadi tak lama
setelah mengonsumsi bahan makanan yang terkontaminasi racun dengan dosis
relatif besar dan yang terserang adalah hati, pankreas, serta ginjal. Pada efek
kronis, aflatoksin menyebabkan timbulnya kanker hati (hepatic carcinoma).
Secara umum konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat
pada Tabel 3.
Konsentrasi
Aflatoksin (ppb)
|
Efek yang
Ditimbulkan
|
20
|
Level maksimal yang
diijinkan untuk manusia
|
50
|
Level
maksimal yang diijinkan untuk hewan
|
100
|
Pertumbuhan
lambat pada usia muda
|
200 – 400
|
Pertumbuhan lambat pada usia tua
|
>400
|
Kerusakan hati dan kanker
|
Tabel 3. Konsentrasi Aflatoksin dan Akibat yang Ditimbulkan
Aflatoksin yang dikonsumsi secara
terus-menerus, walaupun dalam jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati,
organ tubuh yang sangat penting dan juga berperan dalam detoksifikasi
aflatoksin itu sendiri. Data dari berbagai rumah sakit di Indonesia menunjukkan
ada 20% kasus kanker hati tidak menunjukkan kaitan dengan infeksi hepatitis B
maupun hepatitis C. Diduga Aflatoksin B1 memegang peran sebagai faktor pemicu
mutasi P53 gen sel hati yang seterusnya menimbulkan kanker sel hati, timbul
dugaan bahwa kasus kanker hati itu berhubungan dengan senyawa karsinogen
termasuk Aflatoksin B1 (RASYID, 2006).5 Sampai saat ini obat yang
diketahui dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah amphotericin B
(AmB) dan itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole, posaconazole, dan
caspofungin juga telah diterima untuk pengobatan kontaminasi Aspergillus.
2. Aflatoksikosis
Keracunan akibat mengkonsumsi pangan atau pakan yang
tercemar aflatoksin disebut aflatoksikosis. Beberapa negara, terutama negara
dunia ketiga, seperti Taiwan, Uganda, dan India telah melaporkan adanya bukti
terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia. Di negara-negara maju, kontaminasi
aflatoksin pada pangan jarang terjadi pada tingkat yang dapat menimbulkan
aflatoksikosis akut terhadap manusia. Penelitian
toksisitas paparan oral aflatoksin terhadap manusia difokuskan pada potensi
karsinogeniknya. Kerentanan relatif manusia terhadap aflatoksin masih belum
diketahui, meskipun pada studi epidemiologi di Afrika dan Asia Tenggara, tempat
dimana banyak terjadi insiden hepatoma, telah ditemukan kaitan antara insiden
kanker dengan kandungan aflatoksin dalam diet. Hasil penelitian tersebut tidak
membuktikan adanya hubungan sebab akibat, tetapi dapat menjadi bukti adanya
kaitan.
Masalah yang timbul jika mengonsumsi makanan yang
mengandung aflatoksin:
a)
Keracunan akut (aflatoksikosis), dengan gejala mual,
muntah, kerusakan hati hingga kematian pada kasus serius
b)
Perkembangan anak dan pertumbuhan janin terganggu.
c)
Metabolisme protein terganggu.
d)
Kekebalan tubuh menurun.
e)
Kanker hati
Pada manusia, kasus aflatoksikosis sesungguhnya jarang
dilaporkan, tetapi kebanyakan kasus tidak selalu dikenali sebagai
aflatoksikosis. Kita patut curiga bahwa telah terjadi aflatoksikosis jika
ditemukan suatu penyakit yang menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
a)
Penyebab penyakit tidak dapat segera teridentifikasi.
b)
Penyakitnya tidak menular.
c)
Penyebab penyakit diduga diakibatkan oleh jenis pangan
tertentu.
d)
Pemberian antibiotik atau obat lainnya hanya
memberikan sedikit pengaruh.
e)
Kejadiannya bersifat musiman (kondisi cuaca dapat
mempengaruhi pertumbuhan kapang).
Efek berat aflatoksikosis pada hewan (yang
diperkirakan bisa juga terjadi pada manusia) dikategorikan ke dalam dua bentuk
utama, yaitu aflatoksikosis akut (jangka pendek) dan aflatoksikosis kronik
(jangka panjang).
a)
Aflatoksikosis akut dapat diakibatkan oleh konsumsi
aflatoksin dalam tingkat sedang hingga tinggi. Beberapa gejala umum
aflatoksikosis adalah edema anggota tubuh bagian bawah, nyeri perut, dan
muntah. Secara spesifik, paparan akut aflatoksin dapat menyebabkan perdarahan,
kerusakan hati secara akut, edema, perubahan pada pencernaan, dan kemungkinan
kematian. Tertelannya aflatoksin dalam jumlah besar umumnya terjadi di
peternakan. Organ target aflatoksin adalah hati. Setelah aflatoksin masuk ke
hati, lipid menyusup ke dalam hepatosit dan menyebabkan nekrosis atau kematian
sel hati. Hal ini terutama disebabkan oleh metabolit aflatoksin yang bereaksi
secara negatif dengan protein sel lain, yang menyebabkan penghambatan
metabolisme karbohidrat dan lemak serta sintesis protein. Akibat penurunan
fungsi hati, terjadi gangguan mekanisme pembekuan darah, ikterus (jaundice),
dan penurunan protein serum esensial yang disintesis oleh hati.
b)
Aflatoksikosis kronik disebabkan oleh konsumsi
aflatoksin dalam tingkat rendah hingga sedang. Efek yang ditimbulkan biasanya
bersifat subklinis dan sulit dikenali. Gejala aflatoksikosis kronik dapat
berupa penurunan laju pertumbuhan, penurunan produksi susu atau telur, dan
imunosupresi. Beberapa pengamatan menunjukkan adanya karsinogenisitas, terutama
terkait dengan aflatoksin B1. Tampak jelas terjadinya kerusakan hati
karena timbulnya warna kuning yang menjadi karakteristik jaundice, serta
timbul pembengkakan kandung empedu. Imunosupresi disebabkan oleh reaktivitas
aflatoksin dengan sel T, penurunan aktivitas vitamin K, dan penurunan aktivitas
fagositosis makrofag. Pada hewan, efek imunosupresi akibat aflatoksin ini
memberi kecenderungan terkena infeksi sekunder dari jamur lain, bakteri, maupun
virus.
3. Efek Aflatoksin bagi ternak.
Hasil-hasil penelitian (MANI et al.,
2001; MUTHIAH et al., 1998) melaporkan bahaya aflatoksin dan dampaknya terhadap
hewan yaitu dapat menghambat peningkatan bobot badan ternak unggas dan
ruminansia, mengurangi produksi telur, menurunkan respon imun (daya kekebalan
tubuh ternak), jumlah kematian ternak tinggi, mempengaruhi absorpsi unsur
mineral Ca, Cu, Fe dan P, kerusakan organ hati serta menyebabkan residu pada
produk ternak, yang akan berbahaya bagi manusia.
D.
Upaya
Pencegahan Aflatoksin
Produksi
pangan yang benar-benar bebas mikotoksin merupakan hal yang sangat sulit
dilakukan. Namun, metode penyimpanan dan penanganan komoditi yang baik dapat
meminimalkan pertumbuhan kapang sehingga dapat menurunkan risiko pencemaran
mikotoksin pada produk pangan. Penyimpanan komoditi pangan tersebut sebaiknya
di tempat yang kering (kelembaban rendah) dan sejuk (lebih baik jika disimpan
di freezer)
Untuk
mengurangi masuknya aflatoksin ke dalam tubuh melalui pangan, sangat bijaksana
jika konsumen bersikap selektif terhadap pangan yang akan dikonsumsinya, antara
lain dengan menghindari mengkonsumsi pangan yang telah berjamur, telah berubah
warna, telah berubah rasa atau tengik.
Upaya
menghindari pertumbuhan mikrobia pada bahan pakan bisa dilakukan dengan jalan
menjaga kelembaban yang rendah, kurang dari 80% sehingga pertumbuhan fungi akan
terhambat. Hindari suhu optimum untuk pertumbuhan fungi A. Flavus maupun
A. parasiticus, yaitu 25 – 40 oC. Penyimpanan dalam keadaan
kering, kira-kira kadar air 10-12% terhadap bahan pakan sangat
dianjurkan.
Pemilihan
bahan pakan yang baik dan utuh, terhindar dari kelukaan atau kerusakan oleh
serangan hama harus ditegakkan, karena serangan serangga merupakan predisposisi
bagi pertumbuhan fungi pada bahan pakan tersebut. Pada jagung yang terserang
serangga menunjukkan kandungan aflatoksin hampir 90%. Hindari pH 5,5 – 7,0 yang
optimum untuk pertumbuhan A. Flavus.
Seluruh
pihak yang berkepentingan (stakeholder) perlu mengetahui tingkat cemaran
aflatoksin melalui pengujian aflatoksin pada komoditi bahan pangan dan pakan
yang menjadi komoditas perdagangan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk
mencegah kontaminasi aflatoksin, tetapi hal ini masih tetap menjadi masalah.
Berbagai negara telah mencoba membatasi paparan aflatoksin dengan mengeluarkan
peraturan batasan kadar aflatoksin pada komoditi yang akan digunakan sebagai
makanan dan pakan. Food and Drug Administration di Amerika Serikat, misalnya,
memberi batasan kadar aflatoksin maksimum 20 ppm pada makanan dan pakan,
termasuk produk-produk kacang tanah.
E.
Upaya Mendiagnosis Aflatoksin
1. Teknologi
deteksi aflatoksin
Teknologi deteksi aflatoksin secara
kuantitatif, teknik kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT) merupakan cara
pendeteksian yang umum digunakan dan merupakan metode konfirmasi. Sedangkan
metode semi kuantitaf aflatoksin adalah kromatografi lapis tipis (KLT) dan Enzyme
Linked Immunoassay (ELISA), telah pula dikembangkan di laboratorium
Bbalitvet. Saat ini laboratorium Toksikologi Bbalitvet telah dapat menentukan
cemaran aflatoksin untuk kepentingan penelitian maupun pengujian diagnostik
dengan KCKT (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) atau HPLC (High Pressure
Liquid Chromatography) dengan detektor fluoresen, dimana metoda deteksi ini
memerlukan tahapan derivatisasi untuk mengubah aflatoksin menjadi senyawa
berfluoresensi kuat, serta teknik ELISA (RACHMAWATI, 2005). Analisis aflatoksin
pada pakan dan bahan pakan dengan kedua metoda tersebut (HPLC dan ELISA) telah
masuk ruang lingkup terakreditasi berdasar ISO guide 17025.
Telah pula dikembangkan teknik
deteksi menggunakan LCMS dapat memotong tahapan derivatisasi dan memberikan
hasil konfirmasi yang lebih akurat dan diharapkan lebih sensitif. Untuk
teknologi deteksi secara ELISA telah dapat dirakit berupa kit yang dapat di
suplai ke para pengguna, sehingga laboratorium lain dalam ruang lingkup
kegiatan yang hampir sama dapat melakukan analisis aflatoksin pada
laboratoriumnya.
Analisis menggunakan kit ELISA lebih
disukai, karena dapat menganalisis sampel dalam jumlah banyak dalam satu waktu
analisis dan ekstraksi sampel lebih sederhana, sehingga waktu analisis lebih
cepat. Meskipun kit serupa produksi luar negeri tersedia di Indonesia (kit
impor), namun kit hasil pengembangan Bbalitvet dapat diperoleh di dalam negeri
dengan harga relatif murah (3 kali lebih murah) (RACHMAWATI, 2005). Metode
analisis aflatoksin secara ELISA dapat dikembangkan lebih lanjut untuk
keperluan lapang, seperti ELISA dipstick atau ELISA test strip. Namun demikian
baik metode ELISA maupun kromatografi untuk analisis aflatoksin, dapat lebih
luas dikembangkan untuk aplikasi dalam matrik bahan pertanian lain ataupun
makanan (RACHMAWATI, 2006).5
2. Teknik Dekontaminasi
Upaya menekan kandungan aflatoksin dapat dilakukan dengan menggunakan
cendawan Neurospoa sp. dan Rhizopus sp. Selanjutnya untuk
menghindari serangan cendawan A. Flavus pada jagung dapat dilakukan
dengan sesegera mungkin menjemur tongkol jagung yang sudah dipanen sampai kadar
air 17%, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 11% kemudian
disimpan. Pada kondisi kadar air rendah pada biji jagung, maka tidak terserang
cendawan A. Flavus. Upaya lain adalah penggunaan bahan kimia yaitu
ammonia dan asam propionate dapat negurangi jumlah spora yang menempel pada
jambul jagung, sehingga mengurangi sumber inokolum untuk infeksi di
penyimpanan.
Upaya untuk mengatasi mikotoksin adalah dengan ekstraksi menggunakan
pelarut organik, antara lain dengan kalsium klorida atau sodium bikarbonat atau
dengan pemanasan dalam air garam. Penggunaan amonia atau monometylamine dan
kalsium hidroksida juga efektif dalam mengatasi toksin tersebut. NaOCl bisa
digunakan untuk dekontaminasi pada kacang tanah, formaldehid dan NaOH pada
tepung kacang. Perendaman atau pencelupan kacang tanah dalam p-amino benzoat,
kalium sulfit, kalium fluorida, ammonia 2%, asam propionat, Na-asetat, dan H2O2.
Detoksifikasi dengan ammonia terhadap aflatoksin adalah sangat praktis dan
mudah, sehingga banyak dipraktekkan.
Toksin dapat juga dihancurkan dengan pemanasan, misal penggarangan kacang
tanah pada suhu 150oC selama 30 menit akan mengurangi aflatoksin B1
sebanyak 80% dan aflatoksin B2 sebanyak 60%. Penggorengan dengan
minyak pada kacang tanah pada suhu 204oC akan mengurangi kadar
aflatoksin B1 dan G1 rata-rata 40 -50%, sedangkan
aflatoksin B2 dan G2 akan menurun sebanyak 20 – 40%.
Aflatoksin dianggap stabil terhadap pemanasan, karena pada pemanasan normal
(100oC) tidak menyebabkan perubahan. Demikian pula trikhotesen,
zeralenon, khloratoksin dan patulin. Sedangkan sitrinin mudah dirusak oleh
pemanasan. Pemanasan bertekanan (autoklaf) dapat juga mengurangi kadar
aflatoksin. Pada autoklaf suhu 120oC bertekanan 15 lbs selama 4 hari
pada tepung kacang dengan kelembaban 60% akan menurunkan kadar aflatoksin dari
7.000 mg/kg menjadi 340 mg/kg.
Penyinaran dengan sinar ultra violet selama 45 detik bisa menghancurkan spora
A. Flavus. Akan tetapi penyinaran ini juga menyebabkan berkurangnya
zat-zat gizi dalam bahan pakan.
Bahan-bahan kimia tertentu, seperti diklorvos akan menghambat pembentukan
aflatoksin pada gandum, jagung, beras dan kacang tanah.
Pencegahan aflatoksin dapat dilakukan dengan
penggunaan feed aditiv yang dicampurkan dalam bahan pakan , sehingga secara in
vivo feed aditiv ini akan aktif melawan mikotoksin. Beberapa mineral dapat
memiliki kemampuan mengabsorbsi atau menangkap molekul mikotoksin sehingga
tidak berbahaya bagi ternak. Beberapa zat yang dapat bertindak sebagai feed
aditiv antara lain activated charcoal, yeast produk dinding sel.
Beberapa produk sintetik dapat digunakan, antara lain zeolit,
aluminosilikat dan Gamma Amino Butiric Acid (GABA). Zeolit aktif melawan
aflatoksin T2.. Penambahan zeolit 2% sebanyak
1mg/kg bahan pakan terkontaminasi aflatoksin B1 akan menurunkan kadar aflatoksin dalam hati
sampai 30-40%.5
F.
Langkah Penanganan
Berikut merupakan beberapa langkah penanganan Aflatoksin, yakni :
a)
Melakukan peningkatan manajemen bercocok tanam,
penggunaan varietas tanaman tahan serangan kapang toksigenik pada proses pra
panen, serta pemilihan terhadap bahan pangan yang berkualitas baik dan tidak
berkapang.
b)
Mendidik petani, pedagang pengumpul, grosir, pengecer,
industri pangan dan pakan mengenai cara penanganan pasca panen kacang tanah dan
jagung yang baik, melalui media berupa brosur, artikel pada majalah ilmiah
populer, dan lain-lain.
c)
Melakukan monitoring terhadap kadar aflatoksin pada
pangan dan pakan secara kuantitatif dan semi kualitatif pada berbagai tahapan.
d)
Melakukan survei yang lebih luas dan terpadu terhadap
kontaminasi aflatoksin pada berbagai bahan pangan dan pakan di berbagai daerah
(kabupaten, provinsi) di Indonesia.
e)
Menangani masalah aflatoksin dengan koordinasi
berbagai pihak meliputi pemerintah, produsen, konsumen, praktisi, akademisi dan
peneliti.
f)
Mendistribusikan informasi yang diperoleh dari laporan
ini kepada penyuluh pertanian, importir, grosir, dan pengecer kacang tanah,
serta industri pangan dan pakan yang berbahan baku kacang tanah dan jagung.
g) Mendidik
konsumen untuk dapat mengenali dan tidak mengonsumsi kacang tanah yang tercemar
aflatoksin dengan ciri biji berwarna coklat kehijauan hingga kehitaman, dan
berasa pahit.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Aspergillus sp. merupakan
kapang yang tersebar luas di alam. Kapang ini menghasilkan racun aflatoksin
yang dapat mencemari bahan pangan maupun pakan ternak. Bahan pangan terutama
kacang tanah, jagung, dan biji kapas. Terdapat 18 jenis racun aflatoksin, empat
yang paling kuat daya racunnya adalah aflatoksin B1, G1, B2, dan G2. Aflatoksin
B1 bersifat karsinogen pada manusia.
Kapang A. flavus tidak selalu menghasilkan racun sehingga adanya
kapang ini belum tentu memberikan pencemaran racun aflatoksin. Aflatoksin yang
mencemari pakan ternak dapat membahayakan kesehatan dan produktivitas ternak.
Sementara residunya pada hasil ternak dapat menyebabkan keracunan
(aflatoksikosis) baik akut maupun kronis pada manusia bila hasil ternak
tersebut dikonsumsi.
B. Saran
1.
Bagi berbagai negara telah mencoba membatasi paparan
aflatoksin dengan mengeluarkan peraturan batasan kadar aflatoksin pada komoditi
yang akan digunakan sebagai makanan dan pakan.
2.
Bagi seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder)
baik pemerintah, petani, produsen dan konsumen pada komoditi bahan pangan dan
pakan yang berpeluang terkena cemaran aflatoksin untuk dapat melakukan Upaya
pencegahan aflatoksin dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.
2007. Aflatoksin. http://www.pom.go.id/surv/events/afla2007Vol2.pdf, diakses
pada tanggal 3 Mei 2012.
Anonim. Mewaspadai
Cemaran Aflatoksin pada Pangan. http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&ved=0CE0QFjAB&url=http%3A%2F%2Fbalitnak.litbang.deptan.go.id
Dwooqkii.
2012.Info tentang racun aflatoksin yang terdapat pada kacang tanah. http://www.forumkami.net/cafe/207917-info-tentang-racun-aflatoksin-terdapat-kacang-tanah.html,
diakses pada tanggal 3 Mei 2012.
v
2 komentar:
Scr888 top up maxis is your one-stop portal for online gambling in Asia.
Betting is great fun and we’ve developed in-depth guides and resources for online gamblers from Asia.
We provide access to top-rated casinos and sports bookies. You’ll also find the best online slots, poker rooms and esports betting sites. https://www.evernote.com/shard/s510/client/snv?noteGuid=ef9cbefe-82e4-4f8c-b6e6-9de4b0690892¬eKey=e7488022db0a6496518e03365462540a&sn=https%3A%2F%2Fwww.evernote.com%2Fshard%2Fs510%2Fsh%2Fef9cbefe-82e4-4f8c-b6e6-9de4b0690892%2Fe7488022db0a6496518e03365462540a&title=918kiss%2Bjackpot%2Bhack
Free Scr888 Hack The goal of blackjack is simple: to get as close to 21 points as possible. Be careful not to go over it, because with a score of 22 points or more, the bank automatically wins. If you want to try your luck right away, we recommendmalaysiaCasino: you will immediately receive a nice welcome bonus with your first deposit and you can choose from all kinds of blackjack. First further into the depth? http://freescr888hack.angelfire.com/
Posting Komentar