Halaman

17 Juni 2012

HELMINTOLOGI


bahan Mata Kuliah Parasitologi semester II
oleh Theofilus Rengga
 Helmintologi adalah Ilmu yang mempelajari parasit yang berupa cacing. Berdasarkan taksonomi, helmint dibagi menjadi : 1.    NEMATHELMINTHES (cacing gilik) 2.    PLATYHELMINTHES (cacing pipih)
NEMATHELMINTHES
            NEMATODA
            Nematoda mempunyai jumlah spesies yang terbesar di antara cacing-cacing yang hidup sebagai parasit.
Dalam Parsitologi Kedokteran, Nematoda dibagi menjadi 2 yaitu : Nematoda Usus yang hidup di rongga usus dan Nematoda Jaringan yang hidup di jaringan berbagai alat tubuh.  
            NEMATODA USUS
            Manusia merupakan hospes beberapa nematoda  usus. Sebagian besar nematoda ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.Spesies yang termasuk dalam nematoda usus ini menularkan ke manusia melalui tanah yang biasa disebut “soil transmitted helminthes”. Spesies-spesies tersebut adalah Ascaris lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Strongyloides stercolaris Trichinella spiralis.Sedangkan Trichuris trichiura, dan Enterobius vermicularis habitatnya di sekum dan apendiks.

Ascaris lumbricoides
            Di Indonesia cacing ini dikenal sebagai cacing gelang. Manusia merupakan satu-satunya hospes. Penyakit yang ditimbulkan disebut : askariasis.
Morfologi
            Cacing jantan berukuran 10 – 30 cm, sedangkan betina berukuran 22 – 35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus halus. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Dalam lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif dalam waktu kurang lebih 3 minggu.          Telur yang telah dibuahi berukuran panjang antara 60 - 75µ dan lebar antara 40 - 50µ.
Siklus hidup
            Tangan membawa telur infektif dari tanah yang tercemar oleh ekskreta manusia, sayuran, debu, dan sebagainya dan menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh darah atau saluran limfa ke jantung kanan dan mengikuti aliran darah ke paru, kemudian menembus masuk alveoli, masuk rongga alveoli naik ke trakea melalui brokiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan larva akan tertelan ke dalam oesofagus, lalu menuju ke usus halus. Di sini terjadi pergantian kulit lagi dan larva berubah menjadi cacing dewasa.


Cara infeksi
            Penularan ascariasis dapat terjadi melalui beberapa jalan yaitu masuknya telur yang infektif ke dalam mulut bersama makanan atau minuman yang tercemar, tertelan telur melalui tangan yang kotor misalnya pada anak-anak, atau telur infektif terhirup udara. Pada keadaan ini larva cacing menetas di mukosa jalan napas bagian atas untuk kemudian langsung menembus pembuluh darah dan memasuki aliran darah.
Patologi dan Gejala klinis
            Kelainan-kelainan yang terjadi pada tubuh penderita adalah akibat migrasi larva dan adanya cacing dewasa.
            Migrasi larva cacing dalam jumlah besar di paru-paru penderita akan menimbulkan pneumonia dengan gejala berupa demam, batuk, sesak dan dahak berdarah yang umumnya disertai oleh urticaria dan eosinofili sekitar 20%. Pneumonia yang disertai gejala alergi disebut sindrom loeffler atau ascaris pneumonia.
            Cacing Ascaris lumbricoides dewasa dalam jumlah yang besar terutama pada anak-anak dapat menimbulkan kekurangan gizi. Selain itu cairan tubuh cacing dapat menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala mirip demam tifoid disertai tanda alergi misalnya urticaria, edema di wajah, konjungtivitis dan iritasi pernapasan bagian atas.
            Selain itu cacing dewasa juga dapat menimbulkan berbagai akibat mekanik, misalnya obstruksi usus, perforasi ulkus di usus. Migrasi cacing ke organ-organ misalnya ke lambung, usofagus, mulut, hidung, bronkus dapat menyumbat pernapasan penderita. Juga dapat terjadi apendisitis, abses hati, obstruksi saluran empedu dan pancreatitis akut.
Diagnosis
            Untuk menegakkan diagnosis pasti harus ditemukan cacing dewasa atau telur cacing. Cacing dewasa ditemukan pada tinja atau muntahan penderita. Telur cacing yang khas bentuknya dapat dijumpai di dalam tinja penderita melalui pemeriksaan mikroskopis. Untuk membantu menegakkan diagnosis, pemeriksaan darah menunjukkan adanya eosinofili pada stadium awal infeksi. Sedangkan scratch test pada kulit menunjukkan reaksi yang positif.
Pengobatan
            Obat cacing yang lama yang pernah digunakan untuk mengobati ascariasis adalah piperasin, befenium hidroksinaftoat, heksilresorkinol, minyak chenopodium, hetrasan dan tiabendasol. Akan tetapi karena timbulnya efek samping dan sulitnya pemberian obat lama tersebut, maka obat cacing yang baru yang mempunyai spectrum luas lebih aman, sedikit efek samping dan mudah cara pemakaiannya kini lebih banyak digunakan. Diantaranya adalah Pirantel pamoat, mebendazol, levamisol dan albendasol.
Pencegahan
            Pengobatan masal kepada penduduk dengan obat spectrum luas, diikuti dengan perbaikan sanitasi dan hygiene pribadi dan lingkungan akan mencegah penyebaran ascariasis. Pendidikan kesehatan pada seluruh anggota keluarga akan meningkatkan keberhasilan pemberantasan askariasis.
Enterobius vermicularis
(Cacing keremi).

Nama lain : Oxyuris vermicularis.
Penyakitnya disebut : Olsiuriasis atau enterobiasis
Habitat
            Cacing dewasa hidup terutama di dalam sekum dan sekitar apendiks manusia. Untuk bertelur, cacing betina seringkali migrasi ke daerah sekitar anus.
Morfologi
            Cacing dewasa berukuran kecil, berwarna putih. Yang betina jauh lebih besar daripada cacing jantan. Ukuran cacing betina sampai 13 mm dan jantan sekitar 5 mm. Ekor cacing betina lurus dan runcing sedangkan yang jantan ekornya melingkar seperti tanda tanya (?). Kopulasi antara cacing jantan dan betina terjadi di sekum. Cacing jantan jarang dijumpai oleh karena sesudah mengadakan kopulasi dengan betina ia akan segera mati.
            Seekor cacing dewasa betina memproduksi telur sebanyak 11.000 butir setiap harinya selama 2 – 3 minngu, sesudah itu cacing betina akan mati. Telur bentuk asimetrik, tidak berwarna, mempunyai dinding yang tembus sinar dan berisi larva yang hidup. Ukuran telur ± 30 µ x 50-60 µ.
Siklus hidup
            Manusia merupakan satu-satunya hospes definitif dari Enterobius vermicularis dan tidak diperlukan hospes perantara.Telur yang oleh cacing dewasa diletakkan di daerah sekitar perianal dan perineal, dalam waktu 6 jam sudah menjadi telur yang infektif untuk manusia lain. Telur yang masuk ke mulut atau juga bias melalui jalan napas, di dalam duodenum akan menetas. Larva rabditiform kemudian akan tumbuh menjadi cacing dewasa di jejunum dan bagian atas uleum. Untuk melengkapi siklus hidupnya, dibutuhkan waktu antara 2 – 8 minggu.
Cara penularan
            Infeksi enterobiasis dapat terjadi melalui 3 jalan :
1.    Autoinfeksi yaitu : Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri. Atau Pada orang lain setelah memegang benda yang tercemar telur infektif. MIsalnya alas tempat tidur, pakaian dalam penderita.
2.    Melalui pernapasan dengan mengisap udara yang tercemar telur cacing yang infektif.
3.    Penularan secara Retrofeksi, yaitu : Penularan yang terjadi pada penderita sendiri, oleh karena larva yang menetas di daerah perianal mengadakan migrasi kembali ke dalam usus penderita, dan tumbuh menjadi cacing dewasa.
Patogenesis
            Cacing dewasa jarang menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti. Akibat migrasi ke daerah perianal dan perineal menimbulkan gatal-gatal (pruritus ani) yang bila digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder. Gatal-gatal ini juga dapat menimbulkan gangguan tidur penderita. Kadang-kadang cacing betina mangadakan migrasi ke daerah vagina dan tuba falopi sehingga dapat menyebabkan radang ringan pada daerah tersebut. Meskipun cacing seringkali dijumpai di dalam ependiks, akan tetapi jarang menimbulkan apendisitis. Migrasi cacing ke usus halus bagian atas, lambung dan usofagus dapat menimbulkan gangguan ringan di daerah tersebut. Bila tidak ada infeksi, enterobiasis dapat sembuh dengan sendirinya, oleh karena 2 - 3 minggu sesudah bertelur, cacing betina akan mati.
Diagnosis
            Pada anak-anak yang mengalami gatal-gatal di sekitar anus pada waktu malam hari terutama menjelang pagi dan disertai enuresis, maka dugaan enterobiasis dapat dipikirkan. Untuk menentukan dianosa pasti, maka harus ditemukan telur cacing atau cacing dewasa. Untuk mendapat telur cacing dapat dilakukan dengan anal swab yang ditempelkan di sekitar anus pada pagi hari sebelum anak BAB dan mencuci pantat. Anal swab ini biasa ditempelkan dengan scotch adhesive tape yang berfungsi untuk merekatkan telur cacing, kemudian tetesi dengan toluene lalu diperiksa dibawah mikroskop.
Pengobatan
            Pengobatan sebaiknya dilakukan untuk semua anggota keluarga apabila salah satu anggota keluarga ada yang terdianosa enterobiasis, mengingat penularan enterobiais yang sangat mudah.
Obat-obat yang dipakai untuk pengobatan enterobiasis adalah Piperazin, pirvinium pamoat, mebendazol, pirantel pamoat dan tiaqbendazol.
Pencegahan
            Menjaga kebersihan perorangan, keluarga dan lingkungan serta kebersihan makanan merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan enterobiasis. Telur oxyuris vermicularis akan mati oleh sinar matahari langsung.
TRICHURIS TRICHIURA
( Cacing Cambuk )

Penyakitnya disebut : trikuriasis
Habitat
            Cacing dewasa hidup dalam usus besar manusia, terutama di daerah sekum dengan membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Kadang-kadang didapatkan di ileum dan apendiks.
Morfologi
Cacing dewasa berbentuk seperti cambuk. Bagian anterior yang merupakan tiga per lima tubuh berbentuk langsing seperti rambut, sedang dua per lima bagian tubuh yang posterior lebih tebal, sehingga Nampak bentuknya seperti cambuk.
Cacing jantan panjangnya antara 3 – 4 cm. Cacing betina 4 – 5 cm. Cacing betina bertelur sebanyak 3000 – 10.000 per hari. Bentuk telur sangat khas mirip tempayan kayu atau biji melon, berwarna coklat, mempunyai dua kutub yang jernih menonjol, ukuran sekitar 50 x 25 µ.
Siklus hidup
            Manusia merupakan sumber penularan trikuriasis untuk manusia lainnya. Trikuriasis pada hewan ( babi, sapi, biri-biri ) tidak menular pada manusia.
Telur yang keluar bersama tinja penderita belum mengandung larva, oleh karena itu belum infektif. JIka telur jatuh ke tanah yang sesuai, dalam waktu 3 – 4 minggu, telur berkembang menjadi infektif. Telur infektif – termakan manusia – dalam usus halus – dinding telur pecah – larva cacing keluar – sekum – cacing dewasa. Untuk mengambil makanan, cacing memasukkan bagian anterior tubuhnya ke mukosa usus hospes. Cacing ini dapat hidup beberapa tahun lamanya di dalam usus.
Patogenesis
            Karena cacing menembus mukosa usus, maka terjadi proses traumatic dan toksik.Jika telur cacing dalam jumlah besar terdapat di usus – terjadi kerusakan pada mukosa usus – iritasi dan peradangan. Infeksi yang berat dapat menimbulkan intoksikasi atau reaksi alergi – anemia.
Gejala klinik
            Timbul jika terdapat infeksi yang berat. Anemia berat dengan Hb dibawah 3 %, diare disertai tinja berdarah, nyeri perut, muntah-muntah dan mual, berat badan menurun.
Diagnosis
            Pemeriksaan tinja untuk menemukan telur cacing.  Cacing dewasa dapat dilihat bila dilakukan pemeriksaan mukosa rectum.
Pengobatan
            Pengobatan baru dengan spectrum antelmintik luas yaitu : Befenium hidroksinaftoat, levamisol, mebendazol, pirantel pamoat dan oksantel pamoat. Obat lama yang digunakan adalah : ditiasanin iodide, stilbasium iodide, heksil resorcinol, dan tiabendazol.
Pencegahan
            Pengobatan terhadap penderita atau pengobatan masal, perbaikan hygiene sanitasi perorangan, pambuatan jamban, memasak dengan baik makanan dan minuman.

CACING TAMBANG
Jenis cacing tambang :
Cacing tambang yang dapat menimbulkan penyakit pada manusia yaitu : Ancylostoma duodenale, Necator americanus, dan Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum pada anjing dan kucing.
ANCYLOSTOMA DUODENALE DAN NECATOR AMERICANUS
Nama Penyakit
            Infeksi cacing tambang oleh Ancylostoma duodenale disebut : Ankilostomiasis. Sedangkan infeksi oleh Necator americanus disebut : Nekatoriasis.
Distribusi geografis
            Cacing tanbang tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolit), terutana di daerah tropis dan subtropis, terutama yang bersuhu panas dan mempunyai kelembaban tinggi. Di Eropa, Jepang dan Cina, infeksi cacing-cacing ini banyak dijumpai pada pekerja tambang, sehingga cacing-cacing ini disebut : cacing tambang.
Habitat
            Cacing dewasa hidup dalam usus halus, terutama di jejunum dan duodenum manusia dengan melekatkan diri pada membrane mukosa usus dengan menggunakan gigi-gigi kitin atau gigi pemotongnya dan mengisap darah yang keluar dari luka gigitan.
Morfologi
            Cacing tambang berbentuk silindris berwarna putih keabuan. Cacing betina berukuran panjang 9 – 13 cm, sedangkan yang jantan berukuran antara  5 dan 11 mm. Cacing jantan mempunyai bursa kopulaktriks, yaitu suatu alat bantu kopulasi, yang terdapat di ujung posterior tubuhnya. Kedua spesies ini dapat dibedakan mkorfologinya atas bentuk tubuh, rongga mulut, dan bentuk bursa kopulaktriksnya. Bentuk badan Necator americanus menyerupai huruf S, sedangkan Ancylostoma  duodenale menyerupai huruf C. Necator americanus mempunyai gigi kitin, sedangkan Ancylostoma duodenale mempunyai dua pasang gigi.
            Telur cacing tambang berukuran 60 x 40µ, berbentuk bujur dan dinding tipis. Larva rabditiform gemuk, panjangnya ± 250 µ, larva filariform langsing panjangnya ± 600 µ.
Siklus hidup
            Manusia merupakan satu-satunya hospes definitive N. americanos maupun      A. duodenale.Telur cacing keluar bersama tinja – 1-1,5 hari (dalam tanah) – larva rabditiform (tidak infektif) - ± 3 hari – larva filariform (infektif) – menembus kulit – masuk pembuluh darah dan limfe - aliran darah – jantung kanan – paru – bronkus – trakea – laring – usus halus.
Patologi dan Gejala klinik
1.    Stadium larva
Larva masuk le dalam kulit akan menimbulkan gatal-gatal yang disebut Ground itch. Apabila masuk ke dalam paru (lung migration) gejalanya ringan.
2.    Stadium dewasa
Cacing dewasa yang mengisap darah penderita akan menimbulkan anemia hipokrom mikrositer. Seekor cacing N. americanus dapat menimbulkan kekurangan darah sampai 0,1 cc sehari, sedangkan A.duodenale sampai 0,34 cc sehari. Akibat terjadinya anemia, maka penderota akan mengalami gangguan perut, penurunan keasaman asam lambung, sembelit, sehingga penderita tampak pucat, perut buncit, rambut kering dan mudah patah.
Diagnosis
            Diagnosis pasti yaitu dengan menemukan telur cacing dalam tinja segar. Untuk membedakan N.americanus dan A.duodenale yaitu dengan biakan tinja dengan cara Harada-Mori.
Pengobatan
Pirantel pamoat atau mebendazol serta pengobatan untuk anemia.
Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya infeksi baru maupun reinfeksi, maka perlu dilakukan :
1.    Pengobatan missal dan perorangan dengan obat cacing.
2.    Pendidikan kesehatan : membuat jamban yang baik, dan berjalan di tanah selalu menggunakan alas kaki.
                          
Ancylostoma braziliensis dan Ancylostoma caninum
            Pada manusia, kedua spesies cacing tersebut menimbulkan kelainan kulit yang disebut creeping eruption
Habitat :
            Kucing dan anjing merupakan hospes definitif. Cacing dewasa hidup di dalam usus anjing dan kucing.
Morfologi :
            Spesies cacing tambang ini dibedakan dengan memperhatikan bentuk mulut dan gigi serta bursa kopulaktris yang khas bentuknya.
Ancylostoma braziliensis :
            Cacing jantan panjangnya antara 4,7–8,5 mm,dan betina antara 6,1–10,5 mm. Di rongga mulut terdapat dua pasang gigi yang tidak sama ukurannya.  Cacing jantan mempunyai bursa kopulaktriks kecil dengan rays yang pendek.
Ancylostoma caninum :
            Cacing jantan berukuran panjang sekitar 10 mm, dan yang betina sekitar 14 mm. Rongga mulutnya mempunyai tiga pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulaktriks yang besar ukurannya dengan rays yang panjang dan langsing.
Patogenesis :
            Larva filariform cacing-cacing ini hidup di dalam tanah. Sesudah menembus kulit manusia, larva cacing mengadakan migrasi intrakutan dengan membentuk terowongan  yang khas bentuknya. Di dalam tubuh manusia  larva tidak dapat berkembang menjadi cacing dewasa. Dermatitis intrakutan yang berbentuk garis berkelok-kelok mirip ular khas bentuknya, dan garukan oleh penderita dapat menimbulkan infeksi sekunder.
Diagnosis :
            Creeping eruption (suatu dermatitis) secara klinis mudah ditetapkan, dan diagnosis pasti dapat ditegakkan melalui biopsy kulit dengan ditemukannya larva cacing.
Pengobatan :
            Semprotan kloretil pada ujung terowongan dapat membunuh larva cacing melalui proses pendinginan. Selain itu dapat diberikan tiabendazol untuk membunuh larva cacing yang mengadakan migrasi intrakutan.
Pencegahan :
            Cutaneous larva migrans dapat dicegah dedngan menghindari terjadinya kontak kulit dengan tanah yang tercemar tinja anjing dan kucing. Anjing dan kucing yang menderita infeksi ankilostomiasis harus diobati dengan baik untuk menghilangkan sumber infeksi.
                                                   Strongyloides stercoralis
            Cacing ini disebut juga cacing benang dan dapat menyebabkan penyakit strongiloidiasis.
Morfologi :
            Cacing dewasa betina berbentuk seperti benang halus yang tidak berwarna, dengan panjang tubuh sekitar 2,2 mm. Cacing jantan tidak pernah ditemukan, diduga setelah masa perkawinan, cacing jantan tetap bertahan didalam trachea.
-       Telur.
Bentuk telur mirip telur cacing tambang,berukuran sekitar 55 x 30 µ,berdinding tipis tembus sinar. Telur dikeluarkan di dalam membrane mukosa usus dan segera menjadi larva sehingga tidak ditemukan di dalam tinja penderita.
-       Larva.
Larva rabditiform berukuran panjang antara 200 dan 250µ,mempunyai mulut pendek dengan dua pembeesaran oesofagus yang khas bentuknya. Larva filariform langsing bentuknya, berukuran sekitar 700µ, mempunyai mulut yang pendek ukurannya.
Siklus hidup :
            Untuk melengkapi siklus hidupnya cacing ini tidak memerlukan hospes perantara. Hospes definitive tempat cacing dewasa hidup adalah manusia, sedangkan beberapa jenis hewan dapat bertindak sebagai hospes reservoir sehingga juga menjadi sumber penularan bagi manusia.
            Telur cacing yang dikeluarkan di dalam mukosa usus, akan segera menetas menjadi larva rabditiform. Kemudian larva ini akan berkembang menjadi cacing dewasa melalui tiga jalur siklus hidup, yaitu :
1.    Autoinfeksi :
Larva rabditiform yang berada daloam lumen usus, menuju anus, berubah menjadi larva filariform yang akan dapat masuk kembali ke dalam tubuh hospes setelah menembus mukosa kolon.
Autoinfeksi internal / hiperinfeksi terjadi jika larva filariform menembus mukosa kolon sebelum sampai di anus.
Autoinfeksi eksternal terjadi jika larva filariform melewati anus dan menembus kulit perianal.
Baik autoinfeksi internal maupun eksternal keduanya akan sampai pada kapiler darah, kemudian masuk siklus langsung sehingga infeksi cacing ini dapat berlangsung terus menerus seumur hidupnya hospes.
2.    Siklus hidup langsung.
Larva rabditiform bersama tinja penderita jatuh ke tanah, sesudah 2 – 3 hari tumbuh menjadi larva filariform yang infektif. Jika larva menyentuh kulit manusia, menembus kulit tersebut, masuk ke dalam kapiler darah dan terbawa aliran darah. Perjalanan selanjutnya sama dengan perjalanan cacing tambang, yang akhirnya tertelan sampai ke usus halus. Waktu yang dibutuhkan sejak larva filariform menembus kulit hospes sampai didapatkan larva rabditiform didalam tinja  ± 2 – 3 minggu.
3.    Siklus hidup tidak langsung.
Larva rabditiform yang keluar bersama tinja ke tanah, berubah atau berkembang menjadi cacing dewasa jantan dan betina. Setelah mengadakan kopulasi, cacing betina bertelur , kemudian menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform ini di dalam tanah tumbuh menjadi larva filariform yang infektif, menembus kulit hospes dan masuk ke dalam siklus langsung.
Patologi dan gejala klinis :
            Kelainan patologis disebabkan oleh larva maupun oleh cacing dewasa. Larva cacing pada waktu menembus kulit, menimbulkan dermatitis (peradangan kulit), urtikaria (Reaksi vaskuler lapisan dermis bagian atas yang ditandai dengan gambaran bercak/bentol yang agak menonjol yang lebih merah/pucat dari kulit sekitarnya) dan pruritus. Jika larva yang mengadakan migrasi ke paru dalam jumlah yang banyak, maka dapat menimbulkan pneumonia dan batuk darah.
            Pada infeksi ringan biasanya tidak ditemukan gejala, sehingga tidak diketahui hospes, sedangkan pada infeksi sedang cacing dewasa betina yang bersarang di dalam mukosa duodenum, menyebabkan perasaan terbakar, menusuk-nusuk di daerah epigastrium, disertai rasa mual, muntah, diare bergantian dengan konstipasi. Akhirnya pada infeksi berat dan kronis, mengakibatkan berat badan menurun, anemi, disentri menahun, serta demam ringan yang disebabkan infeksi sekunder ke dalam lesi usus. Infeksi berat yang disertai infeksi sekunder dapat menyebabkan kematian, yang disebabkan karna cacing betina bersarang pada hampir semua epitel usus, yang meliputi daerah lambung sampai daerah colon bagian distal.
Diagnosis :
            Untuk menegakkan diagnosis pasti, larva rabditiform ditemukan pada tinja segar, dalam biakan atau pada cairan duodenum. Biakan tinja yang mengandung larva rabditiform dalam tiga hari akan menunjukkan adanya larva filariform dan cacing dewasa.
Pengobatan :
-       Thiabendazol merupakan obat pilihan dengan dosis 25 mg/kg berat badan, diberikan 2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut.
-       Albendazol, dapat diberikan sebagai dosis tungal 400 mg satu/dua kali sehari selama 3 hari.
Pencegahan :
            Tindakan pencegahan lebih sulit dilakukan dibandingkan pencegahan terhadap infeksi cacing tambang. Hal ini disebabkan oleh adanya hewan sebagai hospes reservoir. Selain itu terjadinya autoinfeksi di usus dan siklus hidup bebas di tanah menyulitkan pemberantasan cacing ini. Auto infeksi dapat dicegah dengan menghindari terjadinya konstipasi.

Trichinella spiralis
            Nama lain cacing ini adalah Trichina spiralis, dan nama umumnya adalah cacing trikina. Penyakitnya disebut : Trichinosis, trichiniasis atau trichinellosis.
Distribusi geografis :
            Cacing Trichinella spiralis tersebar luas di seluruh dunia, terutama di Negara-negara yang penduduknya makan daging babi yang tidak dimasak  sempurna, misalnya dipanggang atau dimakan dalam keadaan mentah atau setengah matang.
Habitat :
            Cacing dewasa maupun larva cacing dapat ditemukan dalam tubuh hospes definitive. Cacing dewasa  hidup di dalam mukosa duodenum dan jejunum hospes definitif misalnya babi, tikus dan manusia serta anjing, kucing, beruang dan berbagai mamalia lainnya. Larva cacing ditemukan dalam bentuk kista dalam otot-otot bergaris hospes definitif.
Morfologi :
            Cacing dewasa bentuknya halus seperti rambut. Cacing jantan berukuran panjang antara 1,4 mm – 1,6 mm, betina berukuran mencapai 4 mm. Ujung posterior cacing jantan terdapat 2 buah papil, tidak memiliki spikulum dan diganti oleh vas deferens yang dapat dikeluarkan sebagai alat kopulasi. dan cacing betina ujung posterior membulat dan tumpul. Cacing betina bersifat vivipar.
            Larva cacing berukuran sampai 100µ, namun di dalam otot hospes, umumnya larva daloam bentuk kista. Otot yang mengandung larva Trichinella            infektif bagi mamalia lainnya. Di dalam kista, larva dapat tetap hidup 6 bulan, bahkan bias mencapai 30 tahun.
Siklus hidup :
            Cacing jantan akan mati setelah kopulasi, dan cacing betina akan menjadi besar dan panjang. Cacing dewasa maupun larvanya terdapat di dalam tubuh hospes yang sama. Tetapi untuk dapat melengkapi siklus hidupnya, cacing ini membutuhkan dua hospes yang satu jenis maupun dari jenis yang berbeda. Pada tikus hutan misalnya, hanya dibutuhkan satu jenis hospes yaitu tikus, oleh karena adanya sifat kanibalis pada tikus.
            Manusia, babi dan tikus merupakan hospes definitive, namun cacing ini juga dapat hidup dalam tubuh anjing, kucing dan beruang. Pada keadaan yang alami, siklus hidup cacing ini dapat berlansung di antara kelompok tikus yang kanibalis. Hewan babi terinfeksi akibat makan sampah yang mengandung daging tikus mati.
            Manusia terinfeksi cacing ini karena makan daging babi mentah atau kurang matang yang mengandung kista larva cacing. Di dalam usus halus, dinding kista pecah dan larva akan terlepas. Larva segera memasuki mukosa usus dan dalam waktu dua hari berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing betina dapat melahirkan sampai 1500 larva yang dilepaskan di dalam mukosa usus. Larva ini akan memasuki aliran darah dan limfe, menyebar ke berbagai organ dan bagian tubuh lainnya, terutama ke otot-otot gerak yang miskin glikogen dan kaya oksigen, misalnya : otot lidah, diafragma, mata laring, otot biseps, otot perut. Larva membentuk kista di daerah tersebut, dan tetap infektif dalam waktu lama. Pada bulan keenam sampai bulan kesembilan dapat terjadi perkapuran dari kista.


Patologi dan Gejala klinik :
            Kelainan patologis pada trikinosis mulai terjadi akibat adanya invasi cacing dewasa  yang berasal dari perkembangan larva ke dalam mukosa usus. Gejala dan keluhan penderita terjadi dua hari sesudah tertelannya kista larva yang infektif.
Penyakit trikinosis ini terbagi dalam 3 stadium klinis sesuai dengan periode dalam siklus hidupnya yaitu :

1.    Invasi usus oleh cacing dewasa.
Timbul gejala intestinal dini 1-2 hari setelah memakan daging babi yang kurang matang, berupa tidak enak perut serta diare.

2.    Migrasi larva.
Timbul 7-28 hari setelah memakan daging babi yang kurang matang. Gejala yang timbul berupa oedem terutama sekitar mata, myalgia (nyeri otot), sakit sendi, cefalgia (nyeri kepala), demam yg menetap selama perjalanan penyakit menyerupai demam pada typhus abdominalis. Pada perode ini mungkin disertai gejala gangguan paru-paru berupa pneumonia atau gangguan cerebral atau kardiak. Pada infeksi berat kematian terjadi pada minggu ke 2-3, tetapi pada kasus biasa, kematian pada minggu ke 4-8. Kematian terjadi karena serangan pada alat vital. Sebelum gejala pada periode (2) ini timbul, didahului oleh eosinofil yg mulai timbul pada minggu ke 2, sampai mencapai puncaknya minggu ke 3-4, kemudian turun untuk mencapai normal kembali pada bulan keenam.

3.    Proses pembentukan kista dan penyembuhan.
Dimulai pada bulan ke 3 sejak larva tertelan hospes. Pada periode ini timbul kelemahan umum (malaise) . Kadang-kadang orang yang sembuh dari penyakit ini, dalam beberapa tahun masih merasakan gejala-gejala sisa berupa sakit sendi, kelemahan, kaku, kehilangan kelincahan.

           
Diagnosis :
            Untuk kepastian diagnosis , dilakukan pemeriksaan :
1.    Biopsi otot
Untuk menemukan larva di dalam otot penderita, dilakukan pada minggu ke 3-4 dengan mengambil sepotong kecil otot biseps, dll.
2.    Mencari cacing dewasa didalam tinja atau larva di dalam cairan cerebrospinal, transudat dan eksudat. Tidak praktis karena cacing jarang dan sulit ditemukan.
3.    Diagnosis Immunologi
Yaitu untuk menemukan adanya zat anti terhadap cacing ini di dalam serum, dengan beberapa cara antara lain tes intradermal, tes ikatan komplemen, tes presipitin, tes flokulasi bentonit atau tes lateks.
Pengobatan :
            Dalam pengobatan penyakit ini perlu dipertimbangkan pemberian obat simptomatik, misalnya analgetik untuk mengurangi sakit kepala, sedangkan gejala dan keluhan neurologis dapat diobati dengan memberikan penenang.
Pada manusia, trikinosis diobati dengan tiabendazol 25 mg/kg/hari selama 1 minggu. Mebendazol 200 mg sehari selama 5 hari.
Pencegahan :
            Selalu melakukan pemeriksaan daging babi yang dijual, serta memasak daging babi dengan sempurna sebelum dimakan dapat mengurangi penyebaran trikinosis. Pembekuan daging babi dan daging lainnya hingga -35°C dapat membunuh kista cacing. Selain itu mengupayakan agar babi yg diternakkan selalu diberi makanan yg dipanasi lebih dahulu, dan menjauhkan tikus dari lingkungan peternakan babi. 

Tidak ada komentar: