bahan Mata Kuliah Parasitologi semester II
oleh Theofilus Rengga
Helmintologi adalah Ilmu yang mempelajari parasit yang berupa cacing. Berdasarkan taksonomi, helmint dibagi menjadi : 1. NEMATHELMINTHES (cacing gilik) 2. PLATYHELMINTHES (cacing pipih)
NEMATHELMINTHES
NEMATODA
Nematoda
mempunyai jumlah spesies yang terbesar di antara cacing-cacing yang hidup
sebagai parasit.
Dalam Parsitologi
Kedokteran, Nematoda dibagi menjadi 2 yaitu : Nematoda Usus yang hidup di
rongga usus dan Nematoda Jaringan yang hidup di jaringan berbagai alat tubuh.
NEMATODA USUS
Manusia merupakan hospes beberapa
nematoda usus. Sebagian besar nematoda
ini menyebabkan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.Spesies yang termasuk
dalam nematoda usus ini menularkan ke manusia melalui tanah yang biasa disebut
“soil transmitted helminthes”. Spesies-spesies tersebut adalah Ascaris
lumbricoides, Necator americanus, Ancylostoma duodenale, Strongyloides
stercolaris Trichinella spiralis.Sedangkan Trichuris trichiura, dan Enterobius
vermicularis habitatnya di sekum dan apendiks.
Ascaris
lumbricoides
Di Indonesia cacing ini dikenal
sebagai cacing gelang. Manusia merupakan satu-satunya hospes. Penyakit yang
ditimbulkan disebut : askariasis.
Morfologi
Cacing jantan berukuran 10 – 30 cm,
sedangkan betina berukuran 22 – 35 cm. Stadium dewasa hidup di rongga usus
halus. Seekor cacing betina dapat bertelur sebanyak 100.000 – 200.000 butir
sehari, terdiri dari telur yang dibuahi dan yang tidak dibuahi. Dalam
lingkungan yang sesuai, telur yang dibuahi berkembang menjadi bentuk infektif
dalam waktu kurang lebih 3 minggu. Telur
yang telah dibuahi berukuran panjang antara 60 - 75µ dan lebar antara 40 - 50µ.
Siklus
hidup
Tangan membawa telur infektif dari
tanah yang tercemar oleh ekskreta manusia, sayuran, debu, dan sebagainya dan
menetas di usus halus. Larvanya menembus dinding usus halus menuju pembuluh
darah atau saluran limfa ke jantung kanan dan mengikuti aliran darah ke paru,
kemudian menembus masuk alveoli, masuk rongga alveoli naik ke trakea melalui
brokiolus dan bronkus. Dari trakea larva ini menuju ke faring, sehingga
menimbulkan rangsangan pada faring. Penderita batuk karena rangsangan ini dan
larva akan tertelan ke dalam oesofagus, lalu menuju ke usus halus. Di sini
terjadi pergantian kulit lagi dan larva berubah menjadi cacing dewasa.
Cara
infeksi
Penularan ascariasis dapat terjadi
melalui beberapa jalan yaitu masuknya telur yang infektif ke dalam mulut
bersama makanan atau minuman yang tercemar, tertelan telur melalui tangan yang kotor
misalnya pada anak-anak, atau telur infektif terhirup udara. Pada keadaan ini
larva cacing menetas di mukosa jalan napas bagian atas untuk kemudian langsung
menembus pembuluh darah dan memasuki aliran darah.
Patologi dan Gejala klinis
Kelainan-kelainan
yang terjadi pada tubuh penderita adalah akibat migrasi larva dan adanya cacing
dewasa.
Migrasi
larva cacing dalam jumlah besar di paru-paru penderita akan menimbulkan
pneumonia dengan gejala berupa demam, batuk, sesak dan dahak berdarah yang
umumnya disertai oleh urticaria dan eosinofili sekitar 20%. Pneumonia yang
disertai gejala alergi disebut sindrom loeffler atau ascaris pneumonia.
Cacing
Ascaris lumbricoides dewasa dalam jumlah yang besar terutama pada anak-anak
dapat menimbulkan kekurangan gizi. Selain itu cairan tubuh cacing dapat
menimbulkan reaksi toksik sehingga terjadi gejala mirip demam tifoid disertai
tanda alergi misalnya urticaria, edema di wajah, konjungtivitis dan iritasi
pernapasan bagian atas.
Selain itu cacing dewasa juga dapat
menimbulkan berbagai akibat mekanik, misalnya obstruksi usus, perforasi ulkus
di usus. Migrasi cacing ke organ-organ misalnya ke lambung, usofagus, mulut,
hidung, bronkus dapat menyumbat pernapasan penderita. Juga dapat terjadi
apendisitis, abses hati, obstruksi saluran empedu dan pancreatitis akut.
Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis pasti
harus ditemukan cacing dewasa atau telur cacing. Cacing dewasa ditemukan pada
tinja atau muntahan penderita. Telur cacing yang khas bentuknya dapat dijumpai
di dalam tinja penderita melalui pemeriksaan mikroskopis. Untuk membantu
menegakkan diagnosis, pemeriksaan darah menunjukkan adanya eosinofili pada
stadium awal infeksi. Sedangkan scratch test pada kulit menunjukkan reaksi yang
positif.
Pengobatan
Obat cacing yang lama yang pernah
digunakan untuk mengobati ascariasis adalah piperasin, befenium
hidroksinaftoat, heksilresorkinol, minyak chenopodium, hetrasan dan
tiabendasol. Akan tetapi karena timbulnya efek samping dan sulitnya pemberian
obat lama tersebut, maka obat cacing yang baru yang mempunyai spectrum luas
lebih aman, sedikit efek samping dan mudah cara pemakaiannya kini lebih banyak
digunakan. Diantaranya adalah Pirantel pamoat, mebendazol, levamisol dan
albendasol.
Pencegahan
Pengobatan masal kepada penduduk
dengan obat spectrum luas, diikuti dengan perbaikan sanitasi dan hygiene
pribadi dan lingkungan akan mencegah penyebaran ascariasis. Pendidikan
kesehatan pada seluruh anggota keluarga akan meningkatkan keberhasilan pemberantasan
askariasis.
Enterobius
vermicularis
(Cacing
keremi).
Nama lain : Oxyuris vermicularis.
Penyakitnya disebut : Olsiuriasis atau enterobiasis
Habitat
Cacing
dewasa hidup terutama di dalam sekum dan sekitar apendiks manusia. Untuk
bertelur, cacing betina seringkali migrasi ke daerah sekitar anus.
Morfologi
Cacing
dewasa berukuran kecil, berwarna putih. Yang betina jauh lebih besar daripada
cacing jantan. Ukuran cacing betina sampai 13 mm dan jantan sekitar 5 mm. Ekor
cacing betina lurus dan runcing sedangkan yang jantan ekornya melingkar seperti
tanda tanya (?). Kopulasi antara cacing jantan dan betina terjadi di sekum.
Cacing jantan jarang dijumpai oleh karena sesudah mengadakan kopulasi dengan
betina ia akan segera mati.
Seekor
cacing dewasa betina memproduksi telur sebanyak 11.000 butir setiap harinya
selama 2 – 3 minngu, sesudah itu cacing betina akan mati. Telur bentuk
asimetrik, tidak berwarna, mempunyai dinding yang tembus sinar dan berisi larva
yang hidup. Ukuran telur ± 30 µ x 50-60 µ.
Siklus hidup
Manusia
merupakan satu-satunya hospes definitif dari Enterobius vermicularis dan tidak
diperlukan hospes perantara.Telur yang oleh cacing dewasa diletakkan di daerah
sekitar perianal dan perineal, dalam waktu 6 jam sudah menjadi telur yang
infektif untuk manusia lain. Telur yang masuk ke mulut atau juga bias melalui
jalan napas, di dalam duodenum akan menetas. Larva rabditiform kemudian akan
tumbuh menjadi cacing dewasa di jejunum dan bagian atas uleum. Untuk melengkapi
siklus hidupnya, dibutuhkan waktu antara 2 – 8 minggu.
Cara penularan
Infeksi
enterobiasis dapat terjadi melalui 3 jalan :
1. Autoinfeksi
yaitu : Penularan dari tangan ke mulut penderita sendiri. Atau Pada orang lain
setelah memegang benda yang tercemar telur infektif. MIsalnya alas tempat
tidur, pakaian dalam penderita.
2. Melalui
pernapasan dengan mengisap udara yang tercemar telur cacing yang infektif.
3. Penularan
secara Retrofeksi, yaitu : Penularan yang terjadi pada penderita sendiri, oleh
karena larva yang menetas di daerah perianal mengadakan migrasi kembali ke
dalam usus penderita, dan tumbuh menjadi cacing dewasa.
Patogenesis
Cacing
dewasa jarang menimbulkan kerusakan jaringan yang berarti. Akibat migrasi ke
daerah perianal dan perineal menimbulkan gatal-gatal (pruritus ani) yang bila
digaruk dapat menimbulkan infeksi sekunder. Gatal-gatal ini juga dapat
menimbulkan gangguan tidur penderita. Kadang-kadang cacing betina mangadakan
migrasi ke daerah vagina dan tuba falopi sehingga dapat menyebabkan radang
ringan pada daerah tersebut. Meskipun cacing seringkali dijumpai di dalam
ependiks, akan tetapi jarang menimbulkan apendisitis. Migrasi cacing ke usus
halus bagian atas, lambung dan usofagus dapat menimbulkan gangguan ringan di
daerah tersebut. Bila tidak ada infeksi, enterobiasis dapat sembuh dengan
sendirinya, oleh karena 2 - 3 minggu sesudah bertelur, cacing betina akan mati.
Diagnosis
Pada
anak-anak yang mengalami gatal-gatal di sekitar anus pada waktu malam hari
terutama menjelang pagi dan disertai enuresis, maka dugaan enterobiasis dapat
dipikirkan. Untuk menentukan dianosa pasti, maka harus ditemukan telur cacing
atau cacing dewasa. Untuk mendapat telur cacing dapat dilakukan dengan anal
swab yang ditempelkan di sekitar anus pada pagi hari sebelum anak BAB dan
mencuci pantat. Anal swab ini biasa ditempelkan dengan scotch adhesive tape
yang berfungsi untuk merekatkan telur cacing, kemudian tetesi dengan toluene
lalu diperiksa dibawah mikroskop.
Pengobatan
Pengobatan
sebaiknya dilakukan untuk semua anggota keluarga apabila salah satu anggota
keluarga ada yang terdianosa enterobiasis, mengingat penularan enterobiais yang
sangat mudah.
Obat-obat yang dipakai untuk pengobatan enterobiasis
adalah Piperazin, pirvinium pamoat, mebendazol, pirantel pamoat dan
tiaqbendazol.
Pencegahan
Menjaga
kebersihan perorangan, keluarga dan lingkungan serta kebersihan makanan
merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah terjadinya penularan
enterobiasis. Telur oxyuris vermicularis akan mati oleh sinar matahari
langsung.
TRICHURIS
TRICHIURA
( Cacing
Cambuk )
Penyakitnya disebut : trikuriasis
Habitat
Cacing
dewasa hidup dalam usus besar manusia, terutama di daerah sekum dengan
membenamkan kepalanya di dalam dinding usus. Kadang-kadang didapatkan di ileum
dan apendiks.
Morfologi
Cacing dewasa berbentuk seperti cambuk. Bagian
anterior yang merupakan tiga per lima tubuh berbentuk langsing seperti rambut,
sedang dua per lima bagian tubuh yang posterior lebih tebal, sehingga Nampak
bentuknya seperti cambuk.
Cacing jantan panjangnya antara 3 – 4
cm. Cacing betina 4 – 5 cm. Cacing betina bertelur sebanyak 3000 – 10.000 per
hari. Bentuk telur sangat khas mirip tempayan kayu atau biji melon, berwarna
coklat, mempunyai dua kutub yang jernih menonjol, ukuran sekitar 50 x 25 µ.
Siklus hidup
Manusia
merupakan sumber penularan trikuriasis untuk manusia lainnya. Trikuriasis pada
hewan ( babi, sapi, biri-biri ) tidak menular pada manusia.
Telur yang keluar bersama tinja penderita belum
mengandung larva, oleh karena itu belum infektif. JIka telur jatuh ke tanah
yang sesuai, dalam waktu 3 – 4 minggu, telur berkembang menjadi infektif. Telur
infektif – termakan manusia – dalam usus halus – dinding telur pecah – larva
cacing keluar – sekum – cacing dewasa. Untuk mengambil makanan, cacing memasukkan
bagian anterior tubuhnya ke mukosa usus hospes. Cacing ini dapat hidup beberapa
tahun lamanya di dalam usus.
Patogenesis
Karena
cacing menembus mukosa usus, maka terjadi proses traumatic dan toksik.Jika
telur cacing dalam jumlah besar terdapat di usus – terjadi kerusakan pada
mukosa usus – iritasi dan peradangan. Infeksi yang berat dapat menimbulkan
intoksikasi atau reaksi alergi – anemia.
Gejala klinik
Timbul
jika terdapat infeksi yang berat. Anemia berat dengan Hb dibawah 3 %, diare
disertai tinja berdarah, nyeri perut, muntah-muntah dan mual, berat badan
menurun.
Diagnosis
Pemeriksaan
tinja untuk menemukan telur cacing.
Cacing dewasa dapat dilihat bila dilakukan pemeriksaan mukosa rectum.
Pengobatan
Pengobatan
baru dengan spectrum antelmintik luas yaitu : Befenium hidroksinaftoat,
levamisol, mebendazol, pirantel pamoat dan oksantel pamoat. Obat lama yang
digunakan adalah : ditiasanin iodide, stilbasium iodide, heksil resorcinol, dan
tiabendazol.
Pencegahan
Pengobatan
terhadap penderita atau pengobatan masal, perbaikan hygiene sanitasi
perorangan, pambuatan jamban, memasak dengan baik makanan dan minuman.
CACING TAMBANG
Jenis cacing tambang :
Cacing tambang yang
dapat menimbulkan penyakit pada manusia yaitu : Ancylostoma duodenale, Necator
americanus, dan Ancylostoma braziliense, Ancylostoma caninum pada anjing dan
kucing.
ANCYLOSTOMA DUODENALE DAN
NECATOR AMERICANUS
Nama Penyakit
Infeksi
cacing tambang oleh Ancylostoma duodenale
disebut : Ankilostomiasis. Sedangkan infeksi oleh Necator americanus disebut : Nekatoriasis.
Distribusi geografis
Cacing
tanbang tersebar luas di seluruh dunia (kosmopolit), terutana di daerah tropis
dan subtropis, terutama yang bersuhu panas dan mempunyai kelembaban tinggi. Di
Eropa, Jepang dan Cina, infeksi cacing-cacing ini banyak dijumpai pada pekerja
tambang, sehingga cacing-cacing ini disebut : cacing tambang.
Habitat
Cacing dewasa hidup dalam usus
halus, terutama di jejunum dan duodenum manusia dengan melekatkan diri pada
membrane mukosa usus dengan menggunakan gigi-gigi kitin atau gigi pemotongnya
dan mengisap darah yang keluar dari luka gigitan.
Morfologi
Cacing
tambang berbentuk silindris berwarna putih keabuan. Cacing betina berukuran
panjang 9 – 13 cm, sedangkan yang jantan berukuran antara 5 dan 11 mm. Cacing jantan mempunyai bursa
kopulaktriks, yaitu suatu alat bantu kopulasi, yang terdapat di ujung posterior
tubuhnya. Kedua spesies ini dapat dibedakan mkorfologinya atas bentuk tubuh,
rongga mulut, dan bentuk bursa kopulaktriksnya. Bentuk badan Necator americanus menyerupai huruf S,
sedangkan Ancylostoma duodenale menyerupai huruf C. Necator americanus mempunyai gigi kitin,
sedangkan Ancylostoma duodenale
mempunyai dua pasang gigi.
Telur
cacing tambang berukuran 60 x 40µ, berbentuk bujur dan dinding tipis. Larva
rabditiform gemuk, panjangnya ± 250 µ, larva filariform langsing panjangnya ±
600 µ.
Siklus hidup
Manusia
merupakan satu-satunya hospes definitive N.
americanos maupun A. duodenale.Telur cacing keluar bersama
tinja – 1-1,5 hari (dalam tanah) – larva rabditiform (tidak infektif) - ± 3
hari – larva filariform (infektif) – menembus kulit – masuk pembuluh darah dan
limfe - aliran darah – jantung kanan – paru – bronkus – trakea – laring – usus
halus.
Patologi dan Gejala klinik
1. Stadium
larva
Larva
masuk le dalam kulit akan menimbulkan gatal-gatal yang disebut Ground itch.
Apabila masuk ke dalam paru (lung migration) gejalanya ringan.
2. Stadium
dewasa
Cacing dewasa yang mengisap
darah penderita akan menimbulkan anemia hipokrom mikrositer. Seekor cacing N.
americanus dapat menimbulkan kekurangan darah sampai 0,1 cc sehari, sedangkan
A.duodenale sampai 0,34 cc sehari. Akibat terjadinya anemia, maka penderota
akan mengalami gangguan perut, penurunan keasaman asam lambung, sembelit,
sehingga penderita tampak pucat, perut buncit, rambut kering dan mudah patah.
Diagnosis
Diagnosis
pasti yaitu dengan menemukan telur cacing dalam tinja segar. Untuk membedakan N.americanus
dan A.duodenale yaitu dengan biakan tinja dengan cara Harada-Mori.
Pengobatan
Pirantel pamoat atau mebendazol serta
pengobatan untuk anemia.
Pencegahan
Untuk mencegah terjadinya infeksi baru maupun
reinfeksi, maka perlu dilakukan :
1. Pengobatan
missal dan perorangan dengan obat cacing.
2. Pendidikan
kesehatan : membuat jamban yang baik, dan berjalan di tanah selalu menggunakan
alas kaki.
Ancylostoma braziliensis
dan Ancylostoma
caninum
Pada
manusia, kedua spesies cacing tersebut menimbulkan kelainan kulit yang disebut creeping
eruption
Habitat :
Kucing
dan anjing merupakan hospes definitif. Cacing dewasa hidup di dalam usus anjing
dan kucing.
Morfologi :
Spesies
cacing tambang ini dibedakan dengan memperhatikan bentuk mulut dan gigi serta bursa
kopulaktris yang khas bentuknya.
Ancylostoma
braziliensis :
Cacing
jantan panjangnya antara 4,7–8,5 mm,dan betina antara 6,1–10,5 mm. Di rongga mulut
terdapat dua pasang gigi yang tidak sama ukurannya. Cacing jantan mempunyai bursa kopulaktriks
kecil dengan rays yang pendek.
Ancylostoma caninum :
Cacing
jantan berukuran panjang sekitar 10 mm, dan yang betina sekitar 14 mm. Rongga
mulutnya mempunyai tiga pasang gigi. Cacing jantan mempunyai bursa kopulaktriks
yang besar ukurannya dengan rays yang panjang dan langsing.
Patogenesis :
Larva filariform cacing-cacing ini
hidup di dalam tanah. Sesudah menembus kulit manusia, larva cacing mengadakan
migrasi intrakutan dengan membentuk terowongan
yang khas bentuknya. Di dalam tubuh manusia larva tidak dapat berkembang menjadi cacing
dewasa. Dermatitis intrakutan yang berbentuk garis berkelok-kelok mirip ular
khas bentuknya, dan garukan oleh penderita dapat menimbulkan infeksi sekunder.
Diagnosis :
Creeping
eruption (suatu dermatitis) secara klinis mudah ditetapkan, dan diagnosis pasti
dapat ditegakkan melalui biopsy kulit dengan ditemukannya larva cacing.
Pengobatan :
Semprotan
kloretil pada ujung terowongan dapat membunuh larva cacing melalui proses
pendinginan. Selain itu dapat diberikan tiabendazol untuk membunuh larva cacing
yang mengadakan migrasi intrakutan.
Pencegahan :
Cutaneous
larva migrans dapat dicegah dedngan menghindari terjadinya kontak kulit dengan
tanah yang tercemar tinja anjing dan kucing. Anjing dan kucing yang menderita
infeksi ankilostomiasis harus diobati dengan baik untuk menghilangkan sumber
infeksi.
Strongyloides stercoralis
Cacing
ini disebut juga cacing benang dan dapat menyebabkan penyakit strongiloidiasis.
Morfologi :
Cacing
dewasa betina berbentuk seperti benang halus yang tidak berwarna, dengan
panjang tubuh sekitar 2,2 mm. Cacing jantan tidak pernah ditemukan, diduga
setelah masa perkawinan, cacing jantan tetap bertahan didalam trachea.
- Telur.
Bentuk telur mirip
telur cacing tambang,berukuran sekitar 55 x 30 µ,berdinding tipis tembus sinar.
Telur dikeluarkan di dalam membrane mukosa usus dan segera menjadi larva
sehingga tidak ditemukan di dalam tinja penderita.
- Larva.
Larva rabditiform berukuran
panjang antara 200 dan 250µ,mempunyai mulut pendek dengan dua pembeesaran
oesofagus yang khas bentuknya. Larva filariform langsing bentuknya, berukuran
sekitar 700µ, mempunyai mulut yang pendek ukurannya.
Siklus hidup :
Untuk
melengkapi siklus hidupnya cacing ini tidak memerlukan hospes perantara. Hospes
definitive tempat cacing dewasa hidup adalah manusia, sedangkan beberapa jenis
hewan dapat bertindak sebagai hospes reservoir sehingga juga menjadi sumber
penularan bagi manusia.
Telur
cacing yang dikeluarkan di dalam mukosa usus, akan segera menetas menjadi larva
rabditiform. Kemudian larva ini akan berkembang menjadi cacing dewasa melalui tiga
jalur siklus hidup, yaitu :
1. Autoinfeksi
:
Larva rabditiform
yang berada daloam lumen usus, menuju anus, berubah menjadi larva filariform
yang akan dapat masuk kembali ke dalam tubuh hospes setelah menembus mukosa
kolon.
Autoinfeksi internal
/ hiperinfeksi terjadi jika larva filariform menembus mukosa kolon sebelum
sampai di anus.
Autoinfeksi eksternal
terjadi jika larva filariform melewati anus dan menembus kulit perianal.
Baik autoinfeksi
internal maupun eksternal keduanya akan sampai pada kapiler darah, kemudian
masuk siklus langsung sehingga infeksi cacing ini dapat berlangsung terus
menerus seumur hidupnya hospes.
2. Siklus
hidup langsung.
Larva rabditiform
bersama tinja penderita jatuh ke tanah, sesudah 2 – 3 hari tumbuh menjadi larva
filariform yang infektif. Jika larva menyentuh kulit manusia, menembus kulit
tersebut, masuk ke dalam kapiler darah dan terbawa aliran darah. Perjalanan
selanjutnya sama dengan perjalanan cacing tambang, yang akhirnya tertelan
sampai ke usus halus. Waktu yang dibutuhkan sejak larva filariform menembus
kulit hospes sampai didapatkan larva rabditiform didalam tinja ± 2 – 3 minggu.
3. Siklus
hidup tidak langsung.
Larva rabditiform yang
keluar bersama tinja ke tanah, berubah atau berkembang menjadi cacing dewasa
jantan dan betina. Setelah mengadakan kopulasi, cacing betina bertelur , kemudian
menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform ini di dalam tanah tumbuh
menjadi larva filariform yang infektif, menembus kulit hospes dan masuk ke
dalam siklus langsung.
Patologi dan gejala klinis :
Kelainan
patologis disebabkan oleh larva maupun oleh cacing dewasa. Larva cacing pada
waktu menembus kulit, menimbulkan dermatitis (peradangan kulit), urtikaria
(Reaksi vaskuler lapisan dermis bagian atas yang ditandai dengan gambaran
bercak/bentol yang agak menonjol yang lebih merah/pucat dari kulit sekitarnya)
dan pruritus. Jika larva yang mengadakan migrasi ke paru dalam jumlah yang
banyak, maka dapat menimbulkan pneumonia dan batuk darah.
Pada
infeksi ringan biasanya tidak ditemukan gejala, sehingga tidak diketahui
hospes, sedangkan pada infeksi sedang cacing dewasa betina yang bersarang di
dalam mukosa duodenum, menyebabkan perasaan terbakar, menusuk-nusuk di daerah
epigastrium, disertai rasa mual, muntah, diare bergantian dengan konstipasi.
Akhirnya pada infeksi berat dan kronis, mengakibatkan berat badan menurun,
anemi, disentri menahun, serta demam ringan yang disebabkan infeksi sekunder ke
dalam lesi usus. Infeksi berat yang disertai infeksi sekunder dapat menyebabkan
kematian, yang disebabkan karna cacing betina bersarang pada hampir semua
epitel usus, yang meliputi daerah lambung sampai daerah colon bagian distal.
Diagnosis :
Untuk
menegakkan diagnosis pasti, larva rabditiform ditemukan pada tinja segar, dalam
biakan atau pada cairan duodenum. Biakan tinja yang mengandung larva
rabditiform dalam tiga hari akan menunjukkan adanya larva filariform dan cacing
dewasa.
Pengobatan :
- Thiabendazol
merupakan obat pilihan dengan dosis 25 mg/kg berat badan, diberikan 2 kali
sehari selama 3 hari berturut-turut.
- Albendazol,
dapat diberikan sebagai dosis tungal 400 mg satu/dua kali sehari selama 3 hari.
Pencegahan :
Tindakan
pencegahan lebih sulit dilakukan dibandingkan pencegahan terhadap infeksi
cacing tambang. Hal ini disebabkan oleh adanya hewan sebagai hospes reservoir.
Selain itu terjadinya autoinfeksi di usus dan siklus hidup bebas di tanah
menyulitkan pemberantasan cacing ini. Auto infeksi dapat dicegah dengan
menghindari terjadinya konstipasi.
Trichinella spiralis
Nama
lain cacing ini adalah Trichina spiralis,
dan nama umumnya adalah cacing trikina. Penyakitnya
disebut : Trichinosis, trichiniasis atau trichinellosis.
Distribusi geografis :
Cacing Trichinella spiralis tersebar luas di
seluruh dunia, terutama di Negara-negara yang penduduknya makan daging babi
yang tidak dimasak sempurna, misalnya
dipanggang atau dimakan dalam keadaan mentah atau setengah matang.
Habitat :
Cacing
dewasa maupun larva cacing dapat ditemukan dalam tubuh hospes definitive.
Cacing dewasa hidup di dalam mukosa
duodenum dan jejunum hospes definitif misalnya babi, tikus dan manusia serta
anjing, kucing, beruang dan berbagai mamalia lainnya. Larva cacing ditemukan
dalam bentuk kista dalam otot-otot bergaris hospes definitif.
Morfologi :
Cacing
dewasa bentuknya halus seperti rambut. Cacing jantan berukuran panjang antara
1,4 mm – 1,6 mm, betina berukuran mencapai 4 mm. Ujung posterior cacing jantan
terdapat 2 buah papil, tidak memiliki spikulum dan diganti oleh vas deferens
yang dapat dikeluarkan sebagai alat kopulasi. dan cacing betina ujung posterior
membulat dan tumpul. Cacing betina bersifat vivipar.
Larva cacing
berukuran sampai 100µ, namun di dalam otot hospes, umumnya larva daloam bentuk
kista. Otot yang mengandung larva Trichinella infektif bagi mamalia lainnya.
Di dalam kista, larva dapat tetap hidup 6 bulan, bahkan bias mencapai 30 tahun.
Siklus hidup :
Cacing
jantan akan mati setelah kopulasi, dan cacing betina akan menjadi besar dan
panjang. Cacing dewasa maupun larvanya terdapat di dalam tubuh hospes yang
sama. Tetapi untuk dapat melengkapi siklus hidupnya, cacing ini membutuhkan dua
hospes yang satu jenis maupun dari jenis yang berbeda. Pada tikus hutan
misalnya, hanya dibutuhkan satu jenis hospes yaitu tikus, oleh karena adanya
sifat kanibalis pada tikus.
Manusia,
babi dan tikus merupakan hospes definitive, namun cacing ini juga dapat hidup
dalam tubuh anjing, kucing dan beruang. Pada keadaan yang alami, siklus hidup
cacing ini dapat berlansung di antara kelompok tikus yang kanibalis. Hewan babi
terinfeksi akibat makan sampah yang mengandung daging tikus mati.
Manusia
terinfeksi cacing ini karena makan daging babi mentah atau kurang matang yang
mengandung kista larva cacing. Di dalam usus halus, dinding kista pecah dan
larva akan terlepas. Larva segera memasuki mukosa usus dan dalam waktu dua hari
berkembang menjadi cacing dewasa. Cacing betina dapat melahirkan sampai 1500
larva yang dilepaskan di dalam mukosa usus. Larva ini akan memasuki aliran
darah dan limfe, menyebar ke berbagai organ dan bagian tubuh lainnya, terutama
ke otot-otot gerak yang miskin glikogen dan kaya oksigen, misalnya : otot
lidah, diafragma, mata laring, otot biseps, otot perut. Larva membentuk kista
di daerah tersebut, dan tetap infektif dalam waktu lama. Pada bulan keenam
sampai bulan kesembilan dapat terjadi perkapuran dari kista.
Patologi dan Gejala klinik :
Kelainan
patologis pada trikinosis mulai terjadi akibat adanya invasi cacing dewasa yang berasal dari perkembangan larva ke dalam
mukosa usus. Gejala dan keluhan penderita terjadi dua hari sesudah tertelannya
kista larva yang infektif.
Penyakit trikinosis ini terbagi dalam 3 stadium klinis
sesuai dengan periode dalam siklus hidupnya yaitu :
1. Invasi
usus oleh cacing dewasa.
Timbul gejala
intestinal dini 1-2 hari setelah memakan daging babi yang kurang matang, berupa
tidak enak perut serta diare.
2. Migrasi
larva.
Timbul 7-28 hari
setelah memakan daging babi yang kurang matang. Gejala yang timbul berupa oedem
terutama sekitar mata, myalgia (nyeri otot), sakit sendi, cefalgia (nyeri
kepala), demam yg menetap selama perjalanan penyakit menyerupai demam pada
typhus abdominalis. Pada perode ini mungkin disertai gejala gangguan paru-paru
berupa pneumonia atau gangguan cerebral atau kardiak. Pada infeksi berat
kematian terjadi pada minggu ke 2-3, tetapi pada kasus biasa, kematian pada
minggu ke 4-8. Kematian terjadi karena serangan pada alat vital. Sebelum gejala
pada periode (2) ini timbul, didahului oleh eosinofil yg mulai timbul pada
minggu ke 2, sampai mencapai puncaknya minggu ke 3-4, kemudian turun untuk
mencapai normal kembali pada bulan keenam.
3. Proses
pembentukan kista dan penyembuhan.
Dimulai pada bulan ke
3 sejak larva tertelan hospes. Pada periode ini timbul kelemahan umum (malaise)
. Kadang-kadang orang yang sembuh dari penyakit ini, dalam beberapa tahun masih
merasakan gejala-gejala sisa berupa sakit sendi, kelemahan, kaku, kehilangan
kelincahan.
Diagnosis :
Untuk
kepastian diagnosis , dilakukan pemeriksaan :
1. Biopsi
otot
Untuk menemukan larva
di dalam otot penderita, dilakukan pada minggu ke 3-4 dengan mengambil sepotong
kecil otot biseps, dll.
2. Mencari
cacing dewasa didalam tinja atau larva di dalam cairan cerebrospinal, transudat
dan eksudat. Tidak praktis karena cacing jarang dan sulit ditemukan.
3. Diagnosis
Immunologi
Yaitu untuk menemukan adanya
zat anti terhadap cacing ini di dalam serum, dengan beberapa cara antara lain
tes intradermal, tes ikatan komplemen, tes presipitin, tes flokulasi bentonit
atau tes lateks.
Pengobatan :
Dalam
pengobatan penyakit ini perlu dipertimbangkan pemberian obat simptomatik,
misalnya analgetik untuk mengurangi sakit kepala, sedangkan gejala dan keluhan
neurologis dapat diobati dengan memberikan penenang.
Pada manusia, trikinosis diobati dengan tiabendazol 25
mg/kg/hari selama 1 minggu. Mebendazol 200 mg sehari selama 5 hari.
Pencegahan :
Selalu
melakukan pemeriksaan daging babi yang dijual, serta memasak daging babi dengan
sempurna sebelum dimakan dapat mengurangi penyebaran trikinosis. Pembekuan
daging babi dan daging lainnya hingga -35°C dapat membunuh kista cacing. Selain
itu mengupayakan agar babi yg diternakkan selalu diberi makanan yg dipanasi
lebih dahulu, dan menjauhkan tikus dari lingkungan peternakan babi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar